Akhir-akhir ini, Aliza sering menjadi perbincangan, bukan karena prestasi atau hal buruk, tetapi karena penyakit yang dideritanya. Ia akan mengambil cuti selama empat puluh hari ke depan untuk pemulihan pasca operasi usus buntu. Kemarin, perwakilan dari angkatan kami menjenguknya, sayangnya aku tidak bisa ikut. Dan hari ini, Maulida juga baru pulang dari operasi. Sepertinya kabar tentang kesehatan anak-anak di sekolah kami tidak henti-hentinya.
Namun di sisi lain, kami semua sangat lega ketika menerima nilai ulangan akhir semester satu kemarin dengan nilai yang sangat baik. Nilai rata-rata kelas A dan B tidak begitu jauh, hanya selisih lima angka. Hanya beberapa anak kelas kami yang mendapat nilai remedi. Selanjutnya, satu minggu lagi sekolah akan memberangkatkan study tour ke Bali untuk kelas sebelas dan sepuluh. Rencana ini sudah direncanakan dari tiga bulan yang lalu, agar semuanya siap menabung lebih dulu.
Beruntungnya kali ini bapak dan ibuku tidak banyak komplen atau menolak permintaanku. Ya, walaupun aku sendiri yang membayar semua tagihan sekolah dari uangku sendiri tanpa minta dari orang tuaku, entah untuk buku, uang study tour, dan keperluan lainnya yang nilainya cukup tinggi. Aku baru menyelesaikan semua pembayaran sebelum ulangan akhir semester itu dilaksanakan. Kami semua membereskan meja masing-masing di kelas kami.
Entah apa yang dilakukan Zaldi di meja bekas tempat dudukku waktu ulangan akhir semester kemarin. Dia seperti menatap fotoku di meja itu dengan lekat. Dia bergumam, aku masih mendengarnya dengan baik. "Kalau dilihat-lihat lebih lama, dia benar-benar cantik dan manis. Sepertinya butuh waktu tidak sekali melihat, bahwa dia benar-benar semenarik itu." Dari kejauhan aku melihat anak itu tersenyum tipis. Aku mengerutkan dahi.
Dia sedang memuji siapa? Kenapa dia melihat fotoku seperti itu? Tidak mungkin fotoku yang dipuji, pasalnya fotoku tidak ada bagus-bagusnya, aku sama sekali tidak fotogenik. Sebagian orang yang mengenalku mengatakan, "Kamu lebih cantik aslinya daripada di foto." Kadang aku merasa tersanjung, tapi kadang aku merasa itu bukan benar-benar kalimat pujian. Aku juga tidak merasa cantik. Dan ada lagi yang mengatakan, "Kamu itu jelek, tapi manis." Aku segera menggeser mejaku sendirian. Entah di mana Viana berada.
Dengan cekatan Zaldi menghampiriku dan membantuku mendorong meja ke tempat semua nomor dua, padahal aku tidak minta bantuannya. Sekarang aku jadi agak aneh melihat tindakan Zaldi baru saja.
"Terima kasih," kataku membenarkan meja dengan barisan nomor dua yang lain.
"Kursi kamu mana? Biar aku bantu ambilin?" Lagi-lagi aku mengerutkan dahi. Ini anak lagi kenapa sih? Kenapa jadi aneh sekali? Perasaan selama kami sekelas, dia tidak pernah perhatian seperti ini. Aku tidak sedang baper. Aku hanya merasa aneh saja dengan tingkahnya yang tiba-tiba menjadi orang baik. Apa dia ganti otak?
"Oh, tidak usah, terima kasih, aku masih bisa sendiri," kataku menghampiri kursi di nomor pertama dekat jendela.
"Biar aku yang bawa," katanya dengan memaksa, dengan cepat mengambil alih kursiku dan menariknya ke tempat dudukku.
"Terima kasih, seharusnya kamu tidak perlu repot-repot. Aku masih bisa sendiri."
"Tidak ada yang direpotkan. Kalau butuh sesuatu, bilang saja minta tolong sama aku. Aku tidak keberatan sama sekali," katanya dengan tersenyum tipis.
"Kamu tidak habis kejedot tembok atau pintu, kan?" tanyaku benar-benar penasaran. Bagaimana tidak, orang yang biasanya ikut-ikutan membully ini jadi sedikit perhatian. Ini benar-benar aneh. Apa dia sedang ada maksud tertentu?
"Tidak ada. Tidak perlu curiga apa pun."
"Bagaimana tidak mau curiga, ada orang tiba-tiba kamu jadi baik. Sebelumnya kita tidak pernah berinteraksi baik, bukan? Sebentar, kamu tidak habis terkena vonis penyakit parah apa pun, kan?" tanyaku memastikan. Dia malah tertawa.
"Aku tidak lagi melucu." Dia tidak tertawa lagi, tapi tersenyum tipis.
Aku tidak tahu jika interaksi singkat kami membuat Dimas, Dwandra, dan teman laki-laki lainnya yang berdiri di depan pintu itu sedang tertawa menggoda. Lebih tepatnya seperti mengejekku. Aku menghela napas panjang.
"Kenapa, Azfa?" tanyanya dari kejauhan.
"Tidak ada apa-apa. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada teman kalian." Aku enggan peduli dengan tatapan mereka yang menggodaku. Aku jadi kurang nyaman. Saat aku menghampiri meja Rin dan Nisna, di sana ada Viana, Faozia, Diayu, dan Rita. Mereka tertawa menggoda.
"Kenapa sih? Tidak ada yang lucu." Aku memutar bola mata dengan malas. Ini orang pada kenapa sih? Dan lihat, mereka para pembully itu malah menggoda Zaldi semakin menjadi, namun yang digoda malah tidak keberatan sama sekali, dia malah tersenyum bahagia.
"Azfa," Rin memanggilku dari mejanya. Aku membalikkan badan.
"Ada apa?"
"Kayaknya Zaldi naksir kamu, deh," kata Nisna asal. Aku menunjuk diri sendiri.
"Aku? Kalian kalau bercanda kurang lucu."
"Serius, lihat saja, tingkahnya itu beda. Kayaknya dia sudah lama naksir kamu," kata Rita semakin aneh.
"Tidak mungkin," aku mengelaknya. Apa jadinya nanti pertemananku dengan Viana jika terjadi seperti ini. Oh... ayolah, ini tidak lucu. Viana menyukai Zaldiansyah, sementara itu Zaldiansyah menyukaiku, tapi aku menyukai Dwandra, dan Dwandra menyukai Saqina atau perempuan yang ada di hatinya.
"Apanya yang tidak mungkin, kami lihat dari tadi Zaldi melihat foto kamu di meja itu tanpa berkedip. Dia benar-benar menyukai kamu," Faozia mengatakan itu cukup pelan, hanya kami yang mendengarnya.
Aku mengampiri meja mereka. "Pikirkan saja, apa yang terjadi padaku kalau Viana tahu akan hal ini? Anak itu pasti akan mencincangku secara kasar. Dan persahabatan kami akan rusak. Oh, tidak," aku mengeram frustrasi. Sementara itu, mereka berempat malah semakin menggodaku.