Retak

FAKIHA
Chapter #23

23. Perjalanan ke Bali

Satu minggu kemudian, setelah melaksanakan ulangan akhir semester, sekolah memberangkatkan acara study tour. Acara ini sudah direncanakan beberapa bulan lalu. Kelompok dibagi sesuai dengan keinginan masing-masing. Aku ikut kelompoknya Rita. Aku tidak ingin mengulang pengalaman menyakitkan seperti waktu di SMP.

Sementara itu, Nala bergabung dengan kelompok Sila. Aku tidak berharap apa pun mengenai hal-hal yang akan terjadi nanti. Perjalanan dimulai setelah semua siswa berkumpul di halaman sekolah. Bus besar berwarna biru metalik sudah terparkir di sana, menunggu kami. Perasaan campur aduk antara antusias dan cemas mengiringi langkahku naik ke dalam bus.

Aku berharap selama perjalanan asam lambungku tidak naik, karena jika terjadi, sudah pasti akan membuatku mual sepanjang perjalanan dan tidak nyaman. Aku duduk di samping Rita, sementara Nala duduk di sebelahku bersama Saqina. Suasana dalam bus cukup ramai, terutama teman-teman yang duduk di bagian tengah hingga belakang yang sibuk mengobrol dan bersenda gurau. Sebaliknya, bagian depan bus terasa sangat sunyi. Ini seolah menggambarkan energi yang dimiliki orang-orang ekstrovert dan introvert.

Bus mulai melaju perlahan meninggalkan kota Tegal. Jalanan masih dipenuhi kendaraan yang berlalu-lalang, tetapi semakin jauh kami pergi, suasana berubah menjadi lebih tenang. Pepohonan hijau dan sawah membentang di sepanjang jalan, memberikan pemandangan yang menenangkan. Aku menyandarkan kepala ke kursi, mencoba menikmati perjalanan ini, meski perhatianku terhadap Nala tidak berubah sedikit pun.

Akhir-akhir ini, Nala menjadi lebih pendiam, tidak seperti biasanya. Entah apa yang membuatnya berubah. Jerawat yang dulunya sudah sembuh, kini bertambah banyak. Apakah ini karma? Dulu, Nala selalu memandangku jijik saat jerawatku parah dan tidak kunjung sembuh. Sekarang, setelah jerawatku sembuh, justru dia yang mendapat jerawat lebih banyak dariku. Bahkan, kulitnya benar-benar rusak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika keringat menetes di wajahnya, pasti sangat sakit. Ada beberapa kemungkinan jerawat itu muncul: dia mungkin terlalu banyak pikiran, hormonnya naik drastis, atau dia sedang datang bulan.

Namun, yang membuatku merasa aneh adalah perut Nala yang terlihat buncit. Apa ini hanya perasaanku saja? Atau mungkin saja Nala belum buang air besar selama beberapa hari? Aku masih mencoba berpikir positif. Mungkin itu alasan yang paling masuk akal.

Rita, yang duduk di sebelahku, sesekali menawarkan camilan. Dia mengambil paper bag yang dibawanya, mengeluarkan beberapa camilan kering dan basah, salah satunya adalah brownies cokelat. Sementara itu, aku hanya membawa beberapa jenis camilan.

"Azfa, aku bawa banyak camilan. Kamu mau? Ambil saja kalau mau." Mataku melotot melihat banyaknya camilan yang dibawa Rita. Menurutku itu bukan kategori 'banyak', tapi 'terlalu banyak'.

"Rita, semua ini kamu yang bawa?" tanyaku.

Rita mengangguk. "Iya, semuanya punyaku. Kalau kamu mau, ambil saja. Sebenarnya masih ada dua paper bag lagi, tapi itu punya Dwandra. Aneh sekali anak itu, ingin membawa makanan tapi malah menitipkannya padaku. Katanya malu kalau bawa sendiri. Cemilannya ada di bawah kursimu, kamu tidak keberatan, kan?"

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Ini bukan banyak lagi, Rita. Ini namanya kebanyakan," kataku, membuat Rita tertawa. "Apa kamu berencana buka minimarket di bus ini?" tanyaku lagi, membuat Rita mendelik. Aku tertawa kecil melihat reaksinya.

"Enggak, dong. Aku bawa sebanyak ini biar kalau ada yang mau, bisa ambil. Lagipula, aku malas makan nasi, jadi bawa camilan saja. Ibu juga nggak protes, yang penting perutku enggak kosong. Kalau sampai itu terjadi, sudah pasti Ibu dan Ayah akan marah-marah. Ayo, ambil, kamu mau yang mana?"

"Boleh aku ambil brownies cokelat almond-nya? Aku ambil dua potong, ya?" tanyaku.

"Silakan, ambil saja. Kalau mau lagi, tinggal ambil. Itu buatan Ibu, lho. Tau nggak, aku selalu suka brownies cokelat ini. Biasanya Ibu buatkan satu minggu sekali untuk aku atau Dwandra." Rita terus bercerita dengan antusias. Aku mencoba brownies-nya dan rasanya sangat enak.

Wajah antusias itu berubah lebih cepat. "Aku kesal sekali, kenapa aku harus ambil bus ini sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Lihatlah, itu si Dimaja. Kata anak-anak angkatan kita, dia suka padaku. Aku sih tidak suka. Terus yang bikin kesal lagi, mereka bilang kalau aku sama dia pacaran. Padahal akrab saja tidak." Rita juga marah-marah lucu sekali. Wajahnya yang imut, ditambah jika lagi kesal bicaranya menggebu-gebu, bibirnya maju sesenti.

"Ya, kita memang tidak nyaman jika dikatakan seperti itu. Aku percaya sama kamu," kataku. Rita terus bicara tentang keluhannya selama di sekolah. Dan dia tidak berhenti-hentinya mengomel.

Lima belas menit kemudian, Rita diam. Ia terlihat mulai merasa lelah dan segera menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku membiarkannya, menikmati momen tenang ini di tengah keramaian teman-teman yang terus bercanda dan bernyanyi di bagian belakang bus. Sepertinya tenaganya sudah habis.

Salah satu biang kerok yang membuat Rita kehabisan tenaga ya, Dimaja. Namun, yang terjadi pada anak itu, dia tak henti-hentinya membuat teman-temannya tertawa dengan celotehannya yang jenaka dan banyak drama. Aku yakin sekali, jika Rita matanya masih terbuka, entah sudah berapa kata yang keluar dari mulutnya.

Anak laki-laki yang duduk di belakang benar-benar ramai sekali. Sepertinya pasar malam minggu saja kalah ramainya dengan sepuluh orang di belakang itu. Untung saja, mereka tidak lagi merokok, sekalipun telingaku benar-benar bising mendengar celetukan mereka.

Dimaja, si anak tengil itu, berjalan melewati lorong di antara kursi yang kami duduki dengan gaya percaya diri seperti seorang komedian profesional yang sedang bersiap-siap tampil di panggung besar. Dia berhenti di bagian tengah bus, memegang botol minum seolah itu mikrofon, lalu menghela napas dramatis, menarik perhatian seluruh isi bus. Sebenarnya ini sudah biasa dilakukan olehnya di dalam kelas kami. Kami tidak terkejut dengan tingkahnya yang ajaib itu.

"Baiklah, teman-teman! Kita masih panjang di jalan, jadi mari kita isi waktu dengan sedikit hiburan. Ingat, kalau tidak ketawa, berarti kalian terlalu serius menghadapi hidup!"

"Tapi kalau misalnya cerita aku ini tidak lucu, harap maklumi, karena aku bukan komika. Dan di sana, ada Pak Tulus dan Pak Jian, mereka sedang menikmati martabak cokelat yang sudah dingin." Beberapa anak tidak memperhatikan Dimaja. Sebenarnya, anak itu diam saja bisa membuat orang lain tertawa. Sementara aku menutup mata dengan masker tidur. Aku masih bisa mendengar Dimaja mulai bercerita.

Lihat selengkapnya