Angin laut yang segar menerpa wajah kami saat melangkah ke dek atas kapal feri. Di sekelilingku, anak-anak lain tampak berseri-seri, mata mereka berbinar saat menatap luasnya samudra. Laut biru berkilauan di bawah sinar matahari, dan riak ombak kecil membelai sisi kapal, memberikan sensasi tenang namun penuh antisipasi. Hampir semuanya mengabadikan momen tersebut dalam kamera handphone masing-masing.
Kapal feri ini cukup besar, dengan area duduk terbuka yang dikelilingi pagar besi, memungkinkan kami menikmati pemandangan tanpa halangan. Di satu sisi, terdapat deretan kursi plastik berwarna putih yang diisi oleh beberapa penumpang, para staf guru sekolah kami; mereka tampak asyik bercengkerama. Suara tertawa anak-anak dua angkatan SMA Negeri 2 Bojong ini benar-benar memeriahkan kapal ini, denting halus logam yang bergesekan, dan deru mesin kapal yang lembut mengisi udara.
Di tengah dek, ada kios kecil yang menjual camilan ringan dan minuman dingin. Beberapa teman kami sudah mengerumuni kios, terlihat antusias memilih camilan untuk menemani perjalanan.
Aku, Rita, Saqina, dan selusin anak perempuan duduk saling bersebelahan. Saqina menunjuk ke arah garis cakrawala, lalu menjelaskan sesuatu yang menarik. “Lihat, di kejauhan sana,” kata Saqina sambil menunjuk ke arah garis cakrawala. Kami mengikuti jari telunjuk Saqina.
Lalu ia mengatakan sesuatu cukup serius, "Katanya, kalau cuaca cerah seperti ini, kita bisa melihat bayangan pulau-pulau kecil nanti di Bali. Tapi yang lebih seru lagi, ada mitos soal kapal feri ini." Hanya hitungan detik, wajah Diayu yang tadinya pucat pasi berubah agak merah; itu artinya sudah membaik.
"Apa itu, Saqina?" tanya Diayu tertarik dengan pembicaraan Saqina. Kami menatap dan mendengarkan Saqina bercerita dengan cukup serius.
“Mitos? Mitos apa?” tanyaku penasaran.
Saqina tersenyum tipis, matanya menyipit seperti sedang menyimpan rahasia besar. "Mungkin ini hanya mitos belaka. Sebagian orang percaya, tapi banyak juga yang menganggapnya hanya cerita kosong," ucapnya, sejenak terhenti, menatap jauh ke laut.
Kami mendengarkan dengan penuh minat, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Lalu Saqina melanjutkan, "Tapi kalau dipikir-pikir, mitos sering kali bukan sekadar cerita karangan. Biasanya ada kejadian nyata yang menjadi dasarnya, kemudian berkembang dari mulut ke mulut. Mungkin saja ada seseorang yang benar-benar mengalaminya dulu, lalu cerita itu membesar menjadi semacam teori konspirasi."
Rita menatap Saqina dengan ragu. "Tapi kenapa bisa ada mitos seperti itu? Apa sebelumnya memang pernah ada kejadian aneh di kapal ini?"
Saqina mengangguk. "Ya, konon dulu ada sebuah kapal yang hampir tenggelam di selat ini karena cuaca tiba-tiba berubah drastis, padahal sebelumnya laut sangat tenang. Dari situ mulai muncul cerita tentang suara-suara aneh di malam hari, seperti nyanyian makhluk laut yang menggoda kapal. Aku tidak mengarang, tadi Bapak Deck kru itu yang mengatakan."
"Beliau tadi bercerita banyak tentang kapal ini. Aku mendengarkannya saat kalian semua banyak yang tertidur. Beliau bilang, beliau sudah bekerja di kapal ini sekitar sepuluh tahun. Itu waktu yang cukup lama."
Rita menegakkan duduknya, menatap Saqina dengan kening berkerut. "Siren? Maksudmu seperti di film-film?"
Saqina mengangguk pelan. "Iya, semacam itu. Tapi di sini, mereka tidak akan membuatmu terpesona. Mereka cuma bernyanyi, dan suara mereka kadang mirip isak tangis. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya mereka, tapi konon, kapal yang mendengar suara itu biasanya mengalami masalah di perjalanan selanjutnya. Ada yang bilang mesinnya tiba-tiba mati, atau cuaca tiba-tiba berubah buruk."
Aku mengernyitkan alis. "Tapi kita siang-siang begini, jadi tidak akan ada masalah, kan?"
Saqina tertawa kecil. "Tentu saja tidak. Itu cuma mitos untuk menakut-nakuti. Tapi kapal ini memang punya sejarah panjang. Dulu, ada satu kejadian di mana kapal ini hampir tenggelam karena badai, padahal laut sebelumnya tenang. Tidak ada yang tahu kenapa bisa tiba-tiba berubah, tapi setelah itu, mitos-mitos soal suara aneh mulai bermunculan."
Rita menggigil kecil, meski angin laut sebenarnya cukup hangat. "Aduh, kenapa kamu ceritakan ini sih, Saqina?"
Saqina tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Biar ada seru-serunya, lah. Tapi jangan khawatir, perjalanan kita kali ini pasti aman-aman saja." Aku menutup mata, entah kenapa perasaanku tidak enak.
"Saqina, apa kamu yakin, Pak Deck kru yang kamu maksud itu benar-benar manusia?" tanyaku memastikan.
"Iyalah Azfa, dia manusia. Tadi beliau duduk di sebelah ruang makan khusus kru, namanya Rema Bayana," jelas Saqina. Aku mengangguk mengerti.
"Saqina, bukannya aku tidak percaya. Sebelumnya kamu bilang kapal ini kadang aneh, entah hanya mitos atau tidak. Aku harap yang Saqina katakan itu benar. Karena beberapa jam yang lalu, hampir semua anak SMA N 2 Bojong ini tertidur lelap. Hanya Saqina yang berjaga."
Rita menggeser tempat duduknya agak mendekat denganku. "Jangan membuat aku semakin takut."
"Tidak ada apa-apa," kata seseorang yang tidak kami kenali. Sepertinya laki-laki jangkung yang tengah berdiri di hadapan kami ini salah satu deck kru di awak kapal ini.
Aku memastikan jika orang yang Saqina bicarakan itu benar manusia sungguhan. "Maaf Pak, boleh saya tanya sesuatu?"
"Silakan. Apa ada yang kalian butuhkan?"
"Tidak ada. Saya hanya penasaran. Apakah ada deck kru yang bernama Rema Bayana?" Saqina menatap lekat salah satu deck kru yang berdiri di depan kami. Anak itu menunggu kepastian jika orang yang diajaknya bicara itu manusia. Tapi sayangnya jawaban orang di depan kami tidak memuaskan.