Saat ini kami telah memasuki hari pertama semester kedua. Waktu berjalan sangat cepat tanpa aku sadari. Beberapa orang hidup seolah masih berada di masa lalu atau hanya melanjutkan hidup saja. Mereka tampak enggan menatap masa depan karena sebuah kecemasan. Padahal kecemasan itu datang dari pikiran kita, lalu kecemasan itu mempengaruhi apa yang kita lakukan sekarang hingga mengubah masa depan yang akan kita lewati. Takdir kita adalah pikiran kita.
Udara terasa lebih hangat daripada biasanya, padahal masih jam delapan pagi.
Ada saja kejutan yang selalu datang pada sekolah kami. Saat ini kami masih berkumlul di lapangan setelah selesai melaksanakan upacara, semua anak seantero sekolah ini tidak segera membubarkan diri. Kepala sekolah minta agar semua anak tetap berkumpul lebih dulu dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengatakan,
"Semuanya, tolong jangan membubarkan diri ke kelas dulu. Ada sesautu yang penting, yang perlu dibicarakan," kata kepala sekolah. Lalu beliau melanjutkan kalimatnya setelah semua penghuni di lapangan ini diam, tanpa ada satu patah kata yang keluar dari mulut mereka. "Ada salah satu teman kita yang ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting."
Tiba-tiba Aliza meninggalkan barisannya dan maju ke depan. Semua mata tertuju padanya saat ia berjalan pelan ke ujung lapangan, langkahnya tampak ragu-ragu. Dia mengambil barisan dengan para guru.
Udara yang hangat pagi itu terasa lebih berat, seolah membawa beban di setiap napas yang ditarik oleh para siswa. Aliza berhenti di depan mikrofon, menundukkan kepala sejenak, lalu menatap kami dengan mata yang terlihat lelah namun penuh keteguhan.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Terima kasih karena sudah menjadi teman yang baik selama ini,” suaranya terdengar serak, mungkin menahan perasaan yang berat. “Aku tidak bisa melanjutkan sekolah lagi... karena kondisi kesehatanku tidak memungkinkan. Setelah operasi usus buntu beberapa waktu lalu, aku mengalami komplikasi, dan masa pemulihanku jauh lebih lama dari yang diperkirakan.”
Sejenak hening. Beberapa siswa mulai berbisik pelan di antara mereka, tapi tidak ada yang cukup berani untuk mengganggu suasana haru yang mulai memenuhi udara.
“Aku... aku sudah mencoba, sungguh. Tapi tubuhku tidak sanggup. Dokter menyarankan aku untuk istirahat total. Jadi, ini... adalah hari terakhirku di sekolah ini.” Suaranya sedikit bergetar saat ia menyampaikan kalimat terakhirnya.
Di lapangan, suasana berubah. Tidak ada yang tahu harus berkata apa. Langit yang biru cerah tampak kontras dengan perasaan berat yang mendominasi hati kami. Beberapa siswa terlihat menunduk, mencoba menyembunyikan air mata. Beberapa lainnya saling memandang, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Aliza menatap ke depan, menunggu sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kalian harus melanjutkan. Jangan berhenti. Aku mungkin tidak bisa lagi bersama kalian, tapi aku harap kalian tetap berjuang... untuk masa depan kalian sendiri. Terima kasih atas waktu, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aliza menutup pidatonya.
Itu kabar yang sangat mengejutkan. Biasanya, desas-desus apa pun akan cepat tersebar di sekolah kami. Sepertinya Aliza dan keluarganya sengaja menutup keputusan Aliza dari semua orang, termasuk dengan delapan sekawannya itu. Seperti yang kami lihat, mereka benar-benar terkejut dengan pemberitahuan Aliza yang sangat mendadak itu. Tapi aku memiliki keyakinan jika keluarganya sudah memikirkan matang-matang tentang pengunduran diri Aliza dan pastinya sudah memikirkan rencana masa depan Aliza. Seperti yang kita ketahui, Aliza merupakan anak sulung sekaligus anak perempuan satu-satunya di keluarganya.
Beberapa minggu sebelumnya, Aliza tidak bisa ikut melaksanakan acara study tour karena masih masa pemulihan. Dan hari ini, kejutannya dimulai, Aliza berhenti sekolah.
Aliza berpamitan kepada kami semua. Ia menjabat tangan sekaligus berpelukan pada semua guru dan semua anak perempuan di seantero sekolah ini secara bergantian.
Aliza berjalan cukup santai ke arah semua anak perempuan seantero SMA Negeri 2 Bojong ini. Saat jaraknya dekat denganku dan aku pikir dia akan minta maaf atas perbuatannya selama di sekolah, aku sudah memasang senyum tipis, namun anak itu melewatiku begitu saja seperti tidak ada orang sama sekali. Aku merasa canggung. Setelah itu ia memeluk dan berjabat tangan dengan Viana, Dayu, Nala, serta yang lainnya yang berada di barisanku. Aku tidak keberatan atau tersinggung akan hal itu; kami memang tidak dekat dan tidak dihitung saling akrab.
Saat kami masih kecil, kami sering bermain bersama dengan sepupuku juga. Begitu pula saat kami duduk di kelas lima, kami sangat dekat. Aliza sering menjadikanku sebagai teman curhatnya. Bukan hanya itu, dia dulu baik, dalam artian ketika tidak ada Azakiya, Xima, dan Sila. Semua itu berubah seiring berjalannya waktu. Sebenarnya, aku dan Aliza masih terhitung saudara, kakeknya Aliza dan kakekku adalah kakak adik kandung. Sayangnya, status sosial membuat hubungan seseorang tidak bisa dekat.
Semua orang akan meninggalkanku setelah mereka mendapatkan sesuatu yang mereka mau. Di saat kesepian, kekurangan, kesulitan, atau membutuhkan sesuatu, mereka akan mendatangiku dan bertindak layaknya teman baik, tapi setelah mereka mendapat kebahagiaan, mereka akan lupa dan meninggalkanku. Aku kecewa akan hal itu. Tapi aku bisa apa selain menerima.
Aku tidak begitu merasa sedih dengan perpisahan Aliza. Saat kelas lima akhir, aku diolok-olok oleh mereka berempat hanya karena aku tidak bisa membeli jam tangan, sampai saat ini aku kehilangan rasa simpati pada mereka. Mereka berempat sudah bersahabat dari kelas satu SD, di antara mereka selalu ada Sila, Xima, Aliza, dan Azakiya. Padahal saat aku kelas lima, aku sering membela Aliza, tapi sayangnya, hati nurani Aliza tidak begitu baik.
Mereka selalu kompak kemanapun dan apa saja yang mereka lakukan. Sampai suatu hari, setiap ada tugas kelompok, mereka enggan memilihku sebagai anggota kelompok mereka, karena aku miskin. Aku mencari kelompok yang lain. Itu juga yang aku lakukan sampai tahun kemarin. Aku selalu dikucilkan dari kalangan apa pun hanya karena keluargaku tidak kaya. Bahkan nenekku sendiri tidak pernah menyayangiku sebagai cucunya; keluarga besar dari ibu juga hubungannya tidak begitu baik.
"Kenapa Aliza tidak memeluk kamu dan malah melewatimu? Padahal semua orang dia peluk untuk berpamitan," Viana bertanya dengan suara yang rendah.
"Aku tidak tahu," kataku dengan santai. Aku sudah terbiasa dengan semua orang memperlakukanku dengan berbeda, lebih tepatnya, seperti tidak dianggap sebagai manusia. Jadi aku tidak kaget akan hal itu.