Retak

FAKIHA
Chapter #26

26. Huru-hara manusia problematic

Langit terlihat abu-abu. Sepertinya hujan akan turun lagi. Dulu, aku suka sekali bermain hujan meskipun kedua orang tuaku tidak ada yang mengizinkan. Saat musim hujan tiba, aku sengaja berangkat ke sekolah tanpa membawa jas hujan maupun payung supaya bisa hujan-hujanan. Namun, setelah itu, aku akan diceramahi habis-habisan.

Itu tidak berlangsung lama. Saat aku bermain hujan-hujanan untuk terakhir kalinya, aku langsung demam sampai enam hari. Dari situ, aku memutuskan untuk tidak menyukai bermain hujan lagi. Setiap hujan turun, baik di sekolah maupun dalam perjalanan, aku menjadi agak waspada dan takut sakit lagi.

Notifikasi grup berbunyi, aku segera mengeceknya. Akhir-akhir ini, selalu ada pemberitahuan tentang kelas atau hal-hal penting di sekolah. Karena itu, aku membunyikan lonceng notifikasi WhatsApp.

Saat aku membuka grup kelas, semua nomor handphone muncul begitu ramai masuk ke pesan grup. Yang biasanya tidak ikut serta, sekarang malah mengirim banyak pesan. Aku menggulir pesan paling atas.

Mataku terbuka lebar ketika membaca pesan singkat dari Maulida. Pesan yang dikirim kurang lebih seperti ini:

"Berita yang cukup menghebohkan. Nala hamil di luar nikah anak pacarnya."

Nala hamil? Apa gaya pacarannya benar-benar sebebas itu? Kenapa Nala mau melakukan hal itu? Aku kenal Nala sejak SD, dia seperti apa. Entah hal apa yang membuat dirinya yakin melakukan hal itu. Kata-kata manis apa yang membuat Nala bisa melakukan hal hina itu? Aku terus memberikan pertanyaan pada pikiranku sendiri.

Belum sempat menjawab, Ibu memanggilku.

"Azfa, boleh Ibu masuk kamar kamu?"

"Silakan, Ibu." Beberapa detik kemudian, Ibu sudah masuk ke kamarku dan duduk di kasurku. "Ada apa, Ibu?"

"Azfa, orang-orang di luar ramai sedang membicarakan teman kamu, Nala. Katanya, dia hamil di luar nikah. Betulkah itu?" tanya Ibu minta konfirmasi dariku. Akhir-akhir ini kami sudah lebih dekat dari biasanya. Aku juga sering mengobrol dengan Ibu.

"Entahlah. Aku tidak tahu pastinya seperti apa. Aku baru mendapat pesan dari grup; katanya Nala hamil," jawabku seadanya.

"Mereka bilang Nala sudah hamil sekitar enam bulan." Aku melongo saat Ibu mengatakan hal itu.

"Azfa, Ibu harap kamu perlu menjaga jarak dulu dari anak itu. Ibu tidak ingin kamu terlibat masalah karena anak itu."

"Ibu tidak usah khawatir. Aku akan menjaga jarak darinya."

"Baiklah, kalau begitu. Ibu tadi sudah buatkan teh susu rempah kesukaan kamu, masih panas, di panci." Aku segera melompat dari tempat tidur, lalu berlari ke arah dapur.

"Hati-hati, tidak perlu lari."

"Maaf, Ibu," kataku sambil berteriak. Aku segera menuangkan teh ke dalam gelas dan mencampurnya dengan es batu supaya tidak panas lagi. Aditya juga melakukan hal serupa. Dia selalu tidak ingin mengalah.

"Mbak, itu benar ya beritanya tentang Mbak Nala yang orang-orang bicarakan?" Aku mengangkat bahu.

"Belum ada konfirmasi lebih lanjut. Tolong, es batunya taruh lagi di freezer." Aditya hanya mengacungkan ibu jari. Sementara aku melenggang pergi ke kamar.

Panggilan tidak terjawab dari Rita. Aku yakin sekali, dia akan menanyakan tentang kebenaran soal Nala. Kenapa sih si problematic itu terus-menerus mencari masalah? Padahal aku bukan manajernya, tetapi seolah aku harus bertindak sebagai manajernya untuk mengklarifikasi.

Aku segera menelpon balik. Beberapa detik berikutnya, panggilan dijawab.

"Halo, Azfa," itu kata pertama yang diucapkan saat panggilan baru berlangsung. Itu bukan suaranya Rita.

"Ini siapa, ya?" tanyaku memastikan. Kenapa handphone Rita pada orang lain? Apa anak itu mengubah hal privasi menjadi publik?

"Dwanda, adik bungsunya Rita," katanya dengan santai. "Ada apa, Azfa, apa kamu sedang merindukanku hingga pura-pura menelpon Rita?" Kenapa dia jadi percaya diri sekali? Kenapa aku merasa kesal dengannya? Seharusnya aku senang, bukan? Karena aku bisa bicara dengan Dwandra? Tapi kenapa rasanya tidak demikian?

"Tebakanmu salah. Bisa tolong kembalikan handphone Rita padanya? Sepertinya ada yang perlu dibicarakan." Dwandra malah tertawa.

"Bukan Rita yang nelpon, tapi tidak sengaja menekan nomor kamu."

"Kamu tidak bercanda kan?"

Lihat selengkapnya