Dua hari ini, perbincangan tentang kehamilan Nala tidak berhenti menghebohkan lingkungan sekolah saja, tetapi juga masyarakat. Entah apa yang terjadi pada anak itu, semua orang membicarakannya, tetapi apa yang dibicarakan menghilang begitu saja. Anak itu memiliki tabiat menghindari masalah yang mengenai dirinya.
Sebelumnya, Nala selalu membenci anak-anak yang lahir bukan dari hasil pernikahan. Lalu hari ini, dengan kesadaran penuh, Nala telah membuat seorang anak di rahimnya sendiri bukan dari hasil pernikahan. Hal yang haram selalu dibenci Nala, malah ia melakukannya sendiri dengan kesadaran penuh. Mungkinkah ini karma?
Aku jadi paham tentang hukum tabur tuai. Mulutmu adalah harimaumu. Menjilat ludah sendiri. Itu semua dilakukan Nala dengan sadar.
Pintu rumahku terketuk oleh seseorang. Ibu segera membuka pintu. Hening. Tidak ada suara apa pun, lalu menit berikutnya, ibu mempersilakan orang itu agar masuk dan duduk di ruang tamu kami.
"Azfanya ada?" Aku mencoba mendengar dari suaranya, siapa orang itu.
"Ada, dia ada di kamar. Silakan masuk dan duduk dulu, Nak. Rumah Azfa tidak sebesar rumah kamu. Semoga kamu nyaman duduk hanya beralas karpet tebal. Biar saya ambilkan minum dulu. Kamu mau teh manis atau kopi?" Samar-samar aku mendengarnya ketika Ibu dengan ramah bertanya pada orang itu. Aku masih berada di dalam kamar.
"Teh manis saja, terima kasih," kata orang itu dengan pelan. Aku seperti mengenali suaranya. Aku segera bergegas mengambil hijab pashmina di lemari lalu dengan cepat menggunakannya dengan cara melilit dan menjulurkannya ke depan menutupi dada. Aku segera keluar sebelum Ibu masuk kamarku.
Saat aku buka pintu kamarku, aku berjalan ke depan ruang tamu. Di sana, seseorang yang aku kenali sedang duduk membelakangi arahku. Dia sedang duduk, terlihat jelas dia sedang mencemaskan sesuatu.
Aku menghela napas panjang. Demi apa pun, aku malas sekali bertemu dengannya. Setelah beberapa hari menghilang, anak itu muncul tiba-tiba di hadapanku. Kalian bisa menebak apa yang akan dilakukan manusia problematik ini? Aku menemui Ibu di dapur.
"Azfa, di depan ada tamu, teman kamu. Kamu temui dia. Sepertinya dia butuh bicara sama kamu. Ibu lihat sepertia dia sedang banyak pikiran. Ini bawa minumnya ke depan. Ibu pergi dulu. Aditya minta antarkan ke rumah Bi Ruya. Giginya sakit lagi."
"Kenapa tidak minum obat saja?"
"Sudah minum obat, tapi belum membaik," jelasnya. Aku mengangguk mengerti. Lalu Ibu bergegas pergi, Aditya sudah menunggunya di depan rumah kami. Bi Ruya adalah orang tua paruh baya usianya sekitar tujuh puluh tahunan, beliau biasanya mengobati orang yang sakit gigi dengan bantuan doa, lalu minum segelas air yang telah didoakan itu. Percaya atau tidak percaya, hal itu bisa mujarab.
Ibu sengaja memberi kami ruang dengan meninggalkan kami berdua agar Nala merasa tetap nyaman bicara denganku. Langkahku sangat berat untuk berjalan ke depan menemui Nala.
Aku meletakkan cangkir yang berisi teh manis itu di depan Nala. Anak itu tersenyum getir.
"Ada perlu apa kamu datang ke sini? Bukannya kamu tidak ingin ke rumahku, karena tidak nyaman?" Nala menggeleng kepala saat aku bertanya dengan sindiran.
"Aku ingin bicara sama kamu. Akhir-akhir ini aku ingin bicara sama kamu tapi terhalang karena kamu sibuk sama yang lainnya," katanya dengan berulang. Seperti dia tidak menyadari itu.
"Bicaralah," kataku singkat. Aku sudah tidak peduli lagi pada orang yang setiap harinya menyakitiku dengan memanfaatkanku. Sekalipun orang itu kesakitan dan menangis darah, aku tidak memiliki rasa peduli lagi.
"Berita itu tidak benar, Azfa. Kamu percaya kan sama aku?" Dia memegang punggung tanganku. Aku segera melepasnya dengan pelan.
"Percaya? Haruskah aku percaya sama kamu?" Nala mengangguk meyakinkan. Aku menambahkan, "Berita itu sudah beredar dengan cepat. Bahkan di sekolah sudah mengetahui huru-haranya. Kalau ucapanmu terbukti, kamu bisa klarifikasi sebelum terlambat. Dan seharusnya, dari kemarin kamu ke sekolah untuk mengatakan yang sebenarnya." Nala diam menunduk mendengar ucapanku. Hari ini tanggal merah, semua aktivitas formal tidak ada.
"Apa kamu tahu, kami semua sekelas benar-benar muak dengan tindakan kamu itu. Setiap hari kami dikejar-kejar oleh semua orang untuk klarifikasi. Padahal bukan kami yang melakukan hal itu, itu kamu yang melakukannya. Kenapa harus kami yang bertanggung jawab atas tindakan bodoh kamu itu?" Aku menghela napas panjang.
"Azfa, aku tidak hamil. Percayalah," katanya masih kekeh. Aku tidak mempercayainya. Namun lintas di pikiranku ide yang sangat menarik. Aku membuka handphone dan membuka aplikasi perekam suara. Setelah itu aku merekamnya.
Baiklah, akan aku ikuti sejauh mana Nala mengelak tentang kehamilannya.
"Sungguh?" tanyaku memastikan. Aku berpura-pura mulai percaya agar Nala terjebak dalam umpananku. Saat yang tepat, nanti aku akan melakukan eksekusi. Aku sudah muak dengan tingkah Nala. Bukan hanya hal ini, tetapi semuanya. Kalau bisa, aku akan meluapkan semua keluh kesahku selama ini di depannya.
Kadang berpura-pura bodoh untuk mengelabuhi seseorang yang sering membodohi kita, menurutku sesuatu yang sangat menyenangkan.
"Aku memang pacaran sama dia, sekitar sepuluh bulan ini dari kelas sepuluh. Aku tidak beritahu kamu, karena menurutku, aku tidak perlu mempublikasikannya," katanya terjeda. Dia mengambil napas panjang.
"Benarkah? Tapi bukannya beberapa bulan lalu kamu mempublikasikannya di akun media sosial kamu?" tanyaku mengintimidasi. Gara-gara sering dikejar-kejar anak penghuni SMA N 2 Bojong, aku jadi memiliki bakat menjadi wartawan.
Nala menjelaskan semuanya dari awal dia kenal, lalu dekat, dan pacaran. "Sebenarnya awalnya aku tidak menyukainya. Aku masih mencintai Dwandra, sampai saat ini juga. Tapi pelan-pelan aku juga mencintai Fatir, pacar aku itu." Aku mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai dua orang sekaligus?
Kalau jadinya seperti ini, Saqina tidak ada bedanya dengan Nala. Mereka sama-sama haus validasi ingin dicintai.
"Aku sering cerita tentang Dwandra padanya, dia ini, dia itu, lalu dia cemburu," kata Nala membuatku merasa Nala telah kehilangan akal sehatnya. "Dia selalu cemburu kalau aku membicarakan Dwandra di depannya. Dia itu posesif sekali. Aku tidak bisa leluasa, ini dan itu," jelasnya. Aku mengangguk paham. Lagi pula siapa yang tidak cemburu, ketika orang yang dicintainya malah membicarakan orang lain. Ini sih tidak lebih buruk dari bunuh diri.
Boleh aku mengatakan, Nala memang sangat bodoh. Tidak di akademi, tidak kehidupan nyata, tidak ada bedanya.
"Lalu kamu turuti apa saja yang dia larang atau diinginkannya?" Nala mengangguk. Jebakan mulai terpasang dengan sempurna. Dan aku menambahkan sedikit pertanyaan. Entah dia menjawabnya atau tidak. "Dia minta apa saja selama kalian pacaran?"
"Dia minta foto aku, tapi aku tidak memberikannya," kata Nala semakin menunduk. Aku masih berpikir foto itu pasti pakai hijab dan mengenakan pakaian yang menutup aurat. Aku sama sekali tidak berspekulasi negatif.
"Kenapa?"
"Ya karena aku tidak mau saja. Aku benar-benar tidak suka selalu diancam. Katanya kalau aku tidak mengirimkan foto lagi, dia akan menyebarkannya di semua platform media sosial."
"Apa kamu takut dengan ancamannya itu?" Nala mengangguk saat aku bertanya itu. Aku heran, kenapa dia bisa ketakutan seperti itu. Oh, mungkin saja Nala takut jika fotonya malah diedit yang tidak-tidak lalu disebarkan di media sosial manapun. Itu juga sangat bahaya.