"Sakit mental akibat perundungan harus dibayar dengan rasa malu. Itu ada dalam kamus hidupku," Azfa.
*****
Tujuh hari berlalu sejak berita itu tersebar, dan para guru memutuskan untuk tidak lagi memberikan gelar "Kelas Teladan" untuk kelas sebelas IPA B. Itu benar-benar menyebalkan. Satu orang membuat masalah, tetapi satu kelas yang harus menanggung akibatnya. Nala memang selalu seperti itu—lari dari tanggung jawab dan membiarkan masalah membesar hingga kami yang harus mencari solusinya. Seluruh siswa di SMA kami berbondong-bondong menghujat akun Instagram Nala, melampiaskan kata-kata kasar atas keresahan yang disebabkan oleh ulahnya.
Namun, itu bukan solusi yang tepat. Mereka sadar akan hal tersebut, tetapi tetap saja melakukannya. Itu tidak berbeda dari tindakan perundungan. Ya, meskipun Nala adalah pelaku, tindakan semacam itu tetap salah.
Sekarang, Nala sedang menuai akibat dari perbuatannya sendiri. Kata-kataku kemarin siang mungkin terlalu pahit, tetapi aku tidak peduli. Biarkan dia berpikir dengan otak dan nuraninya. Apakah dia sejahat itu? Kalau dia harus berpikir hingga bergadang semalaman karena memikirkan ucapanku sampai tidak bisa tidur, itu bukan urusanku. Aku benar-benar kecewa dengan apa yang dia lakukan.
Berita itu bukan hanya kabar angin lewat. Setelah mendapat konfirmasi langsung dari Nala, aku tidak terkejut sama sekali. Meski begitu, aku tidak menyebarkan kabar tersebut di sekolah. Aku tidak mau menjadi pengkhianat seperti Nala, yang diam-diam melakukan sesuatu untuk menghancurkan hidup orang terdekatnya. Meski dia bukan lagi sahabatku, setidaknya aku masih bisa bertindak sebagai manusia yang punya hati nurani—sesuatu yang sayangnya tidak dimiliki Nala.
Tepat satu minggu setelah berita itu muncul, kepala sekolah memanggil salah satu anggota keluarga Nala ke sekolah untuk membicarakan keributan yang ditimbulkan. Nama sekolah bisa tercemar di mata masyarakat, sekaligus di hadapan sekolah-sekolah lain. Meskipun sekolah kami setiap tahun mengirimkan siswa ke olimpiade tingkat provinsi, perbuatan Nala akan menjadi aib besar. Reputasi baik sekolah bisa rusak hanya karena tindakan buruk satu orang.
Mbak Najri—kakak Nala—datang ke sekolah sesuai panggilan kepala sekolah. Di ruang guru, dia memberikan klarifikasi dan meminta maaf atas sikap Nala. Di luar, kami—para siswa—berkumpul di lorong kelas sepuluh yang berdekatan dengan ruang guru, menunggu hasil pembicaraan. Seperti pengintai, kami menerka-nerka apa yang terjadi di dalam.
"Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya? Apa benar Nala hamil? Kalau benar, apa sekolah akan mengeluarkannya?" tanya Sila, ingin memastikan. Aku, yang tahu kebenaran dari Nala, hanya diam, berpura-pura seolah belum tahu apa pun.
Saqina menjawab dengan penuh minat, "Aku yakin ada dua kemungkinan. Pertama, kalau Mbak Najri membenarkan berita itu, sekolah mungkin akan segera mengeluarkan Nala sebelum semuanya semakin heboh. Tetapi kalau sekolah tidak mengeluarkannya, sekolah dan semua guru akan menanggung malu."
"Apa yang dikatakan Saqina ada benarnya. Tetapi kemungkinan kedua itu tidak akan terjadi. Siapa yang mau menanggung malu?" sambung Maulida. "Bayangkan, sekolah kita terkenal karena citra baiknya dan siswanya yang cerdas. Kalau Nala tetap di sekolah dan berita ini tersebar di media sosial, pasti sekolah akan kena sanksi, selain menanggung malu."
Aku tak bisa menghilangkan perasaan bahwa semua orang di sini sebenarnya membenci Nala, hanya saja mereka selama ini menyembunyikannya dan pura-pura baik. Mungkin aku satu-satunya orang yang tulus menganggapnya sahabat, sayangnya, Nala tidak bersikap sama denganku.
Ketika Mbak Najri keluar dari ruang guru, kami menunggu dengan tegang. Apa keputusan kepala sekolah? Apakah Nala masih bisa bersekolah atau akan dikeluarkan? Semua berdesakan di koridor, berharap jawabannya sesuai dengan harapan mereka.
Bu Ria keluar, wajahnya tenang. "Baiklah, dengarkan semua. Saya harap kalian tidak menyebarkan berita ini di media sosial. Itu bisa berdampak buruk pada sekolah kita," katanya.
Rahima yang tidak sabar, berjalan mendekatinya. "Jadi bagaimana keputusan kepala sekolah? Apakah Nala masih boleh bersekolah atau dikeluarkan?"
Bu Ria menatapnya dengan serius. "Setelah mendengar klarifikasi dari kakaknya Nala, dan mengonfirmasi kebenaran berita itu, kepala sekolah memutuskan bahwa Nala tidak dapat melanjutkan sekolah di sini. Keputusan ini diambil karena kasus kehamilan di luar nikah."
Kerumunan segera bertepuk tangan, seolah menyambut keputusan itu dengan senang hati. Bu Ria berjalan pergi, tetapi aku tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja. Aku mengangkat suaraku. Ini merupakan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Aku juga akan merekam semua jawaban Bu Ria sebagai bukti ke media sosial. Bukankah bukti viral lebih cepat ditangani daripada melapor langsung pada pihak berwajib?
"Bu Ria, bagaimana dengan kasus perundungan di sekolah ini? Baik secara verbal maupun fisik? Apa akan ada tindakan yang sama tegasnya?"
Bu Ria berhenti dan menatapku. "Apa maksud kamu, Azfa?" Semua mata tertuju padaku. Detak jantungku semakin cepat, tetapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah terlalu lelah untuk takut. Rasa lelahku melebihi rasa takutku.
"Yang saya maksud," kataku dengan tenang meskipun emosi berkecamuk di dalam, "adalah perundungan yang sering terjadi di sekolah ini. Apakah sekolah juga akan mengambil tindakan tegas terhadap para pelakunya, atau korban harus menunggu sampai benar-benar terluka secara fisik maupun psikis?"
Lorong menjadi sunyi. Mereka tahu persis apa yang aku bicarakan. Bahkan beberapa dari mereka ikut terlibat. Terlihat dari wajah mereka yang berubah pucat pasi, seperti halnya Xima, Sila, Ika, Azakiya, Maulida, Saqina, Hima, Dimas Pra, Dani, Anas, Mabrur, Adi, dan Fathir. Sayangnya, Nala dan Aliza sudah keluar dari sekolah ini.
Bu Ria menghela napas. "Setiap kasus akan ditangani sesuai prosedur dan bukti yang ada. Jika ada laporan resmi, kami akan menindaklanjuti."