Retak

FAKIHA
Chapter #29

29. Retak

Matahari mulai tampak meninggi. Aku benar-benar siap menghadapi pertarungan ini. Kurang dari dua puluh empat jam, berita itu meledak di media sosial. Semua orang di sekolah mulai membicarakannya—baik yang mendukung maupun mengecam. Keesokan harinya, aku dipanggil ke ruang BK oleh Bu Ria. Langkahku mantap, penuh percaya diri, meski aku tahu pasti alasan beliau memanggilku. Sudah bisa ditebak, beliau akan meminta klarifikasi, berharap aku menarik kembali pernyataanku dan menghapus video yang telah menggemparkan sekolah. Tapi aku sudah siap dengan jawabanku. Aku tidak akan mundur begitu saja.

Ketika aku masuk ke ruang BK setelah mengetuk pintu, mereka mempersilakan aku masuk. Aku melihat Bu Ria dan Pak Tulus sudah duduk di sana. Wajah mereka terlihat tegang, dan aku tahu pasti apa yang akan terjadi. Pak Tulus, yang biasanya penuh senyum, kini hanya menatapku dengan sorot mata serius.

"Azfa, silakan duduk," Bu Ria membuka percakapan dengan nada yang terdengar sedikit lebih lembut daripada biasanya. "Kami sudah melihat video yang kamu posting. Ini sudah menjadi masalah besar, dan kami minta kamu segera menghapusnya. Kami tidak ingin reputasi sekolah hancur."

Aku menghela napas, tetap tenang meski hatiku berdebar. “Dengan segala hormat, Bu, saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Video itu bukan rekayasa. Itu adalah kenyataan yang selama ini diabaikan.”

"Azfa," Pak Tulus memotong, suaranya tegas. "Kamu tahu, tindakan seperti ini bisa membawa konsekuensi besar. Media sudah mulai memberitakan ini, dan jika tidak segera ditangani, situasinya bisa semakin buruk. Kami minta kamu mengklarifikasi bahwa semua ini hanya salah paham."

Aku menatap mereka berdua, merasakan kekuatan yang tumbuh dalam diriku. "Saya tidak akan menghapus video itu atau mengklarifikasi apa pun. Kemarin Ibu minta saya agar mempunyai bukti untuk melapor. Dan video rekam suara itu sebagai bukti. Jika Anda menolak ajuan banding saya, bisa saja saya hapus video itu dengan syarat Bu Ria dan Pak Tulus mengambil tindakan nyata untuk memberikan sanksi pada para pelaku bullying. Jika itu terjadi, saya akan memenuhi permintaan kalian. Tapi jika tidak, saya akan terus memperjuangkan ini."

Bu Ria tampak terkejut dengan jawabanku. "Kamu tidak bisa begitu, Azfa! Ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang nama baik sekolah."

Aku tersenyum kecil. "Nama baik sekolah seharusnya dijaga dengan memberikan keadilan kepada murid-muridnya, bukan dengan menutupi kebenaran. Jadi Ibu memilih demi menjaga nama sekolah tetap baik, Ibu melindungi para pelaku perundungan daripada melindungi para korban perundungan?"

"Bukan itu maksud kami," Pak Tulus mencoba membujuk lagi.

"Apa maksudnya?" tanyaku, sengaja memancing dengan nada yang sopan. Seringnya melihat debat di acara Mata Najwa membuatku bisa menyerap ilmunya.

"Azfa, kami tidak bisa bertindak sembarangan. Perlu proses yang panjang untuk menginvestigasi ini semua."

"Proses yang panjang? Saya sudah menunggu bertahun-tahun, Pak," jawabku dengan tegas. "Jika kalian tidak bertindak sekarang, saya tidak akan menghapus video rekaman suara Bu Ria yang sudah terlanjur viral itu. Pilihan yang tepat adalah konsekuensi yang akan diterima oleh sekolah. Bapak dan Ibu terhormat bisa memikirkan hal itu dengan baik. Maaf, saya tidak bisa mengubah keputusan yang sudah saya ambil."

"Baiklah, jika hal itu kamu lakukan, maka kami dengan terpaksa mengeluarkan kamu dari sekolah ini," kata Bu Ria, membuatku tersenyum tipis. Untung saja aku masih merekam mereka dengan handphone yang berbentuk jam tangan. Itu sangat memudahkan. Ini adalah antisipasiku jika mereka akan menggeledahku.

"Jadi, itu artinya dengan tegas Bapak dan Ibu benar-benar memutuskan untuk melindungi para pelaku perundungan? Itu hebat sekali. Tidak pernah saya pikirkan sebelumnya," kataku, sengaja memancing mereka.

Pak Tulus menegakkan duduknya, menyilangkan tangan di depan dada. Wajahnya semakin mengeras, dan aku tahu perdebatan ini tidak akan mudah. Tapi aku sudah siap dengan segala risiko. "Azfa, ini bukan soal melindungi siapa pun. Ini tentang bagaimana kami menangani masalah secara prosedural. Kamu harus paham, tindakan semacam ini bisa membuat suasana semakin keruh, baik untuk sekolah maupun dirimu sendiri."

Aku tidak menurunkan tatapanku. "Pak Tulus, jika Anda bicara soal prosedur, apakah tidak seharusnya ada tindakan tegas terhadap pelaku bullying sejak awal? Bukannya malah membiarkan para korban menderita dalam diam? Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak sekolah."

Bu Ria, yang sejak tadi menahan diri, kini angkat bicara lagi, kali ini dengan nada yang sedikit lebih keras. "Kami sudah mencoba yang terbaik untuk menangani masalah ini. Tidak semua hal bisa diselesaikan secara terbuka seperti yang kamu lakukan. Dengan memposting video itu, kamu telah mempermalukan sekolah, Azfa. Apakah itu tujuanmu?"

Aku tersenyum kecil, tidak tersinggung dengan tuduhan itu. "Tujuan saya bukan mempermalukan siapa pun, Bu. Tapi saya ingin kebenaran terungkap. Dan kalau kebenaran itu membuat sekolah terlihat buruk, mungkin karena ada sesuatu yang memang perlu diperbaiki di sini."

Pak Tulus menarik napas panjang, seolah berusaha menahan emosinya. "Apa kamu pikir ini jalan yang benar? Menyeret masalah ini ke publik tanpa mempertimbangkan dampaknya? Kamu masih muda, Azfa. Kamu tidak memahami seluruh konsekuensi dari tindakan ini."

"Justru karena saya muda, saya tidak ingin tumbuh di lingkungan yang memaksa saya diam terhadap ketidakadilan," jawabku tegas. "Saya tidak ingin menjadi bagian dari generasi yang takut bersuara. Saya melakukan ini bukan hanya untuk diri saya, tapi untuk semua korban yang pernah diabaikan. Jika itu artinya saya harus menghadapi konsekuensi besar, saya siap."

Ruangan itu menjadi hening sejenak. Baik Bu Ria maupun Pak Tulus tampak berusaha mencari kata-kata untuk melanjutkan argumen mereka. Aku tahu, dalam hati kecil mereka, mereka menyadari kebenaran dari ucapanku. Tetapi sebagai otoritas, mereka terperangkap oleh tanggung jawab untuk melindungi reputasi sekolah. Itu yang membuat mereka terkesan keras kepala.

Akhirnya, Bu Ria menghela napas panjang. "Azfa, kami tidak ingin hal ini berlarut-larut. Bagaimana kalau kita mencari jalan tengah? Kamu menarik video itu, dan kami akan mulai investigasi resmi terhadap pelaku bullying. Tindakan disipliner akan kami ambil, tapi kamu harus setuju untuk tidak membuat hal ini lebih besar di luar sana."

Aku bisa melihat upaya mereka untuk mencari solusi damai. Tapi bagiku, ini belum cukup. "Saya butuh jaminan, Bu. Saya sudah terlalu sering mendengar janji-janji seperti ini. Para korban butuh lebih dari sekadar investigasi. Mereka butuh keadilan nyata."

Pak Tulus, yang sejak tadi diam, menyela lagi. "Azfa, kami tidak bisa memberi jaminan langsung. Proses ini butuh waktu. Tidak bisa instan."

Aku mengangguk. "Saya paham, Pak. Tapi selama ini para korban juga sudah menunggu terlalu lama. Jika kalian benar-benar serius, buat pernyataan tertulis yang menjelaskan bahwa investigasi ini akan dilakukan secara transparan dan para pelaku akan diberi sanksi sesuai aturan."

Bu Ria tampak ragu. "Azfa, kami tidak bisa membuat pernyataan tertulis begitu saja. Ini bukan hanya soal internal sekolah, tapi juga melibatkan pihak luar, termasuk orang tua dan dinas pendidikan."

Aku menatap mereka berdua, tidak goyah. "Kalau begitu, saya akan terus mempublikasikan ini sampai ada tindakan nyata. Sekali lagi, saya tidak ingin mempermalukan sekolah, tapi saya juga tidak bisa berdiam diri melihat ketidakadilan."

Perdebatan semakin memanas, meski masih dalam batas-batas yang sopan. Mereka mencoba berkali-kali membujukku, menawar dengan berbagai kompromi, tapi aku tetap pada pendirianku. Aku tahu, selama mereka tidak memberikan tindakan nyata, mereka hanya akan mencoba menutupi masalah ini lagi.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Bu Ria berdiri dari kursinya. Dia menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan—campuran antara frustrasi dan rasa hormat yang enggan diungkapkan. "Baik, Azfa. Kami akan membuat pernyataan tertulis, sesuai yang kamu minta. Tapi ingat, ini butuh waktu. Kami juga harus berhati-hati agar tidak merugikan pihak-pihak lain."

Aku mengangguk, merasa lega namun tetap waspada. "Saya paham, Bu. Saya akan menghapus video itu sementara. Tapi jika saya melihat tidak ada kemajuan, saya tidak akan ragu untuk mempublikasikannya kembali."

Lihat selengkapnya