Rasanya begitu melelahkan. Perasaanku begitu berkecamuk. Aku tidak bisa lagi melihat Jingga, istriku, seperti dahulu lagi. Apakah aku bosan? Mungkin saja. Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, aku hanya ingin menjauh darinya.
Perlahan, aku bahkan mengabaikannya. Aku tidak lagi tidur di kamar yang sama dengannya. Tidak lagi memberikan kecupan selamat pagi setiap hari, dan tidak lagi memeluknya.
Aku kehilangan keinginan untuk berdekatan dengannya. Aku bahkan lebih banyak diam dan membiarkan hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada kemesraan seperti biasa di antara kami.
Aku pandangi foto dirinya yang menghiasi layar laptopku. Aku tidak menggantinya walaupun saat ini perasaanku sedang tidak menentu. Tidak berarti aku ingin melenyapkan begitu saja jejak dirinya dari kehidupanku.
Jingga tampak bahagia di foto itu. Aku mengambilnya saat kami berlibur ke Jepang, salah satu negara favoritnya. Pikiranku pun melayang mengingat bagaimana awal kami bersama.
Banyak hal yang aku perjuangkan untuk mendapatkan hatinya. Aku bahkan harus menunggu beberapa tahun sampai akhirnya kesempatan untuk menyandang status sebagai kekasihnya menjadi milikku.
Aku dan Jingga telah saling mengenal selama tiga puluh tahun. Dia satu sekolah denganku. Sebelumnya, ia telah berpacaran dengan teman dekatku, tetapi bagiku, dia memang wanita yang berbeda dan itu cukup menarik perhatianku.
Tidak ada yang aku lakukan kala itu. Aku tidak mengganggu hubungannya dengan teman dekatku. Aku hanya terkadang memperhatikannya dari kejauhan.
Pernah aku hanya iseng menghubunginya untuk sekedar mengisi waktu. Dia menanggapiku dengan ramah, mungkin karena kami memang sering pergi bersama-sama termasuk dengan beberapa sahabatku, termasuk dengan kekasihnya yang adalah teman dekatku.
Aku cukup nyaman berbincang dengannya. Dia tidak seperti kebanyakan wanita yang aku kenal, malahan, menurutku, dia cukup unik.
Jingga adalah pribadi yang sangat mandiri. Aku bahkan mengetahui kalau ia bisa bepergian yang menurutku cukup berbahaya untuk di lakukan seorang diri. Apalagi oleh seorang wanita.
Ia juga tidak pernah rewel dengan panas dan debu jalan raya ketika ia harus menaiki kendaraan umum, padahal ia berasal dari keluarga yang sangat berada. Bahkan, ketika beberapa teman wanitaku menolak untuk makan di pinggir jalan, dia malah tampak sangat senang dan menikmatinya.
Saat itu, aku menyadari kalau hampir semua yang aku cari dari seorang wanita, ada padanya. Seorang wanita yang bisa menyesuaikan diri di kondisi apa saja.