Aku mengenal sosok Lidya belum lama. Seorang wanita yang memiliki tinggi sekitar 155 cm bertubuh sedikit berisi dengan rambut sebahu dan dengan dandanan yang cukup tebal, menurutku. Mungkin sekitar empat bulan lalu.
Dia adalah salah seorang teman kenalanku. Aku memiliki sebuah kelompok yang memiliki hobi yang sama dan saat itu, temanku mengalami kesulitan di dekat rumahku dan meminta bantuanku. Di sanalah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Lidya.
Tidak ada kesan apa pun ketika aku berjabatan tangan dengannya karena sosoknya memang tidak menarik perhatianku.
Sejujurnya, ia sama sekali bukanlah tipeku. Wajahnya di poles terlalu berlebihan, terutama bentuk alisnya yang cukup mengganggu pemandangan ku. Selebihnya tidak ada lagi yang berkesan.
Menurut pengakuan dari temanku, Lidya sudah menyukaiku sejak pertama dia melihatku.
Ia bahkan saat itu sudah tahu kalau aku sudah berkeluarga dan anehnya lagi, temannya yang juga adalah temanku menyarankan Lidya agar maju saja mendekatiku.
Entahlah, mungkin dalam pertemanan mereka itu adalah satu hal yang biasa.
Singkat cerita, dia mendekatiku dengan berpura-pura untuk membeli sepeda yang aku bawa. Saat itu ia memang sedang bersama dengan teman-temanku yang memiliki hobi bersepeda. Maklum saja, saat itu bersepeda adalah salah satu olah raga yang sedang naik daun.
“Om, sepedanya bagus. Aku sebenarnya sedang cari sepeda.”
Itulah kalimat yang ia lontarkan kepadaku saat itu. Aku yang tidak memiliki prasangka apa-apa dan juga tidak tahu maksudnya padaku, dengan santai menawarkan ia untuk membeli sepedaku saja.
Kebetulan aku memang ingin menjualnya. Ia tampak tertarik, tetapi beralasan kalau takut harganya mahal dengan sikap sedikit manja. Aku yang saat itu sedang tergesa untuk pulang pun tanpa maksud apa pun meminta nomor ponselnya.
Beberapa hari setelahnya aku menghubunginya. Bertanya apakah ia masih tertarik untuk membeli sepedaku. Dari balasannya entah mengapa aku bisa membaca kalau ia senang menerima pesan dariku.
Kami pun sempat berbincang cukup lama sampai akhirnya ia jadi membeli sepedaku, tetapi aku membantunya untuk menjual sepedanya yang lama.
Setelah itu, kami semakin sering bertukar pesan.
Dari caranya membalas pesanku atau dari caranya memulai pembicaraan aku bisa merasakan kalau ia memang menaruh perasaan padaku. Hal itu bisa dengan jelas aku rasakan.
Ia sering hanya sekedar bertanya kabarku atau apakah aku sudah makan. Sebagai pria, aku tahu betul bagaimana sikap seorang wanita yang sedang melakukan pendekatan kepada pria yang menarik perhatiannya.