Retak Berhamburan

blank_paper
Chapter #10

Bab 10 - Tersenyum Saat Terluka Itu, Berat (PoV Jingga)

Pagi itu, aku rasanya enggan untuk membuka mataku. Hari baru yang kembali datang, rasanya akan menjadi sebuah perjalanan panjang yang harus aku lalui.

Setelah semalam aku sedikit mendapatkan informasi tentang sang wanita yang mengusik rumah tanggaku, pikiran dan hatiku menjadi kacau. Bagaimana caranya untuk aku tetap terlihat tenang dan tidak bertindak gegabah di dalam situasi ini? Masih banyak yang harus aku cari tentang wanita itu, sebelum aku membuka semuanya di hadapan Dewa.

Aku paksakan tubuhku untuk tetap bangun karena aku harus menyiapkan semua kebutuhan anakku untuk bersekolah hari ini. Aku menoleh sesaat ke arah Dewa yang tampak begitu damai dalam lelapnya.

Terbersit sebuah pertanyaan di benakku. Apakah pernah sekali saja ada rasa bersalah atau menyesal yang hadir di dalam hatinya, ketika ia bersama dengan wanita itu? Lalu aku pun tersenyum sinis dengan pikiran bodoh itu. Kalau ia merasa menyesal, ia tidak mungkin meneruskan pilihannya untuk mengkhianatiku. Mengkhianati pernikahan kami.

Setelah mengetahui kenyataannya, rasanya aku tidak bisa untuk menjalani satu bulan ini dengan bersikap seperti istri yang sangat menyayanginya. Aku tidak bisa membayangkan mencium suamiku sendiri yang mungkin sudah di nikmati bibir lain yang tidak memiliki hak.

Tetapi, bukankah aku harus bisa bersandiwara agar tujuanku tercapai? Aku tetap harus bersikap seolah tidak ada yang terjadi sampai semua bukti yang aku perlukan cukup untuk membuatnya tidak dapat menyangkal lagi.

Aku mendekatinya. Wajahku hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya dan perlahan aku mengecup pipinya untuk mengucapkan selamat pagi. Aku tahu dia tidak akan terbangun, tetapi ini adalah kebiasaan yang dulu selalu kami lakukan. Siapa pun yang terlebih dahulu terbangun, akan memberikan sebuah kecupan selamat pagi kepada pasangannya.

Setelah itu aku pun menjauhkan tubuhku dan beranjak untuk membangunkan anak-anakku. Aku buka perlahan pintu kamar mereka, dan mereka masih tampak terlelap. Terbersit rasa khawatir di benakku. Apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar berpisah dengan Dewa? Apakah mereka bisa menerima semua itu? Akankah suatu saat ada omongan-omongan negatif yang datang kepada mereka?

Aku tidak peduli dengan perkataan orang tentangku, tetapi kalau itu menyangkut anak-anakku, aku tidak bisa menerimanya.

Aku mengembuskan napas berat, lalu melangkah mendekati mereka. Aku bangunkan mereka dengan kecupan selamat pagi dan meminta mereka untuk segera bangun dan bersiap-siap. Aku siapkan pakaian mereka dan lalu meninggalkan mereka untuk menyiapkan makan pagi.

Karena saat ini mereka masih melakukan sekolah dari rumah, aku hanya perlu menyiapkan sarapan pagi saja. Kalau biasanya aku harus menyiapkan juga snack dan makan siang untuk mereka bawa ke sekolah.

Lihat selengkapnya