Aku berusaha untuk menjalani setiap hariku dengan menekan segala emosi dan kekalutanku. Sangat tidak mudah. Mungkin yang pernah ada di posisiku akan mengerti bagaimana sulitnya untuk tetap tersenyum dan memperlakukan pasangan kita dengan baik setelah kita tahu luka apa yang telah ia goreskan dengan sebuah pengkhianatan.
Setiap melihat Dewa, tentu saja aku ingin sekali mengatakan kalau aku tahu apa yang ia lakukan di belakangku, tetapi aku selalu berusaha menahannya. Benar-benar membuatku muak setiap kali aku melihatnya tersenyum sambil menatap layar ponselnya, ataupun ketika ia izin pergi sebentar yang tentu saja aku tahu untuk bertemu dengan pujaan barunya itu.
Bersikap seakan kita tidak tahu apa-apa, membuat aku merasa seperti orang bodoh. Aku ingin berteriak di depan wajahnya, tetapi entah mengapa, aku tidak dapat melakukannya. Aku bukan orang yang akan menggebu-gebu ketika aku marah. Aku hanya akan mengatakan apa yang ada di pikiranku dengan sikap tenang dan tersenyum kepada orang itu.
Mungkin sekitar satu minggu sudah aku terus menahan diri. Setiap aku melewati kamar kerjanya, pintunya selalu tertutup dan terkadang aku bisa mendengar sayup-sayup ia berbicara dengan berbisik, berbeda dengan cara ia berbicara dengan teman kerjanya ketika mereka sedang zoom. Instingku mengatakan kalau ia pasti sedang menelepon wanita itu.
Selama satu minggu ini juga aku setiap malam selalu mencari sesuatu yang baru untuk aku jadikan bukti, termasuk membuka ponsel Dewa ketika ia sedang terlelap. Aku tidak menyukai cara ini. Aku tidak suka membuka ponselnya secara sembunyi-sembunyi, tetapi tentu saja aku tidak memiliki cara lain yang cepat untuk mendapatkan bukti.
Untung saja, Dewa memang termasuk malas untuk menghapus semua pesan-pesannya. Mungkin karena ia berpikir aku tidak pernah memeriksa ponselnya selama ini. Jadi, ia membiarkan saja semua percakapannya dengan Lidya tetap berada di ponselnya.
Aku telusuri setiap percakapan mereka dan aku mengambil gambarnya satu persatu sebagai bukti kalau sampai nanti Dewa mengelak. Aku sudah bisa membayangkan kalau ia akan marah dan menuduhku terlalu lancang karena berani membuka ponselnya. Jujur saja, aku sudah tidak peduli. Ia boleh menganggapku apa saja sesukanya hatinya.
Hari itu, entah apa yang sudah merasukiku, tiba-tiba saja kemarahanku meledak. Aku tidak meluapkannya dengan teriakan, bahkan bisa di katakan aku cukup tenang ketika aku pada akhirnya menyerah dan membiarkan Dewa tahu kalau aku sudah mengetahui tentang hubungan gelapnya.
Sore hari, aku sedang menemani anak-anakku bermain. Seperti biasa, aku menemani mereka bermain puzzle yang berjumlah 2000 bagian untuk kami susun. Aku sempat turun ke bawah untuk mengambil minum. Dari kamar anakku menuju ke bawah, akan melewati ruang kerja Dewa yang entah mengapa sore itu pintunya tidak tertutup rapat.