Retak Berhamburan

blank_paper
Chapter #14

Bab 14 - Memberitahu Lidya (PoV Dewa)


Ketika aku membuka mata, aku sangat berharap kalau kejadian semalam terhapus begitu saja, tetapi semua masih tetap nyata di dalam ingatanku. Semua benar-benar terjadi.

Aku enggan sekali untuk keluar dari ruang kerjaku, tetapi sebuah pikiran gila tiba-tiba saja muncul di kepalaku.

Aku langsung berlari ke bawah dan berharap dugaanku tidak terjadi. Betapa leganya aku ketika aku melihat Jingga ada di dapur, sedang membuatkan sarapan untuk anak-anak kami. Aku bahkan tidak berani untuk menyapanya dan memutuskan untuk kembali ke kamar kerjaku sampai Jingga memanggil namaku.

“Dewa, aku sudah menyiapkan teh hangatmu. Apakah kamu mau omelette juga? Aku sedang membuatkan Davin dan Andy sarapan.”

Aku sempat tertegun dengan sikap Jingga yang seakan tidak terjadi apa-apa semalam. Aku memandangnya yang sedang sibuk membolak-balik telur di penggorengan.

Dulu aku suka sekali menemaninya masak, terkadang aku memeluknya dari belakang sambil mengecup tengkuknya dan menggodanya. Tidak jarang kami malah berakhir dengan bermesraan.

Mengapa sekarang jadi seperti ini? Aku telah menyakitinya, tetapi aku bahkan tidak mau untuk berhenti. Aku tetap menginginkan Lidya, dan aku lebih mampu untuk menyakiti Jingga daripada aku harus menyakiti Lidya. Entah apa yang telah terjadi dengan otak dan hatiku.

Sejak Lidya hadir, aku seakan tidak dapat menolak apa pun yang ia inginkan. Aku seperti terhipnotis begitu saja untuk menyenangkan hatinya, termasuk jika hal itu akan menyakiti Jingga.

“Aku cukup teh hangat saja.” Lamunanku berakhir. Secangkir teh hangat telah tersedia di hadapanku.

Kedua tanganku aku katupkan di cangkir yang terasa hangat itu. Aku berusaha mencari kenangan-kenangan indah yang aku harapkan bisa membuatku berpaling dari Lidya dan kembali melihat Jingga seperti dulu lagi, tapi semua itu seakan tidak berarti.

Aku menginginkan kenangan indah baru dengan Lidya—sosok yang berhasil mencuri hatiku.

Tidak ada pembicaraan lagi di antara kami. Untuk selanjutnya, Jingga memanggil kedua anak kami untuk sarapan di bawah. Mereka duduk di hadapanku. Aku sadar, kalau bersama Lidya aku bisa saja kehilangan mereka juga, karena mereka pasti akan ikut dengan Jingga.

Tapi apakah pemikiran itu membuatku gentar? Yang pasti aku tetap tidak dapat melepaskan Lidya. Aku seakan telah benar-benar dikuasai olehnya. Aku begitu takut untuk membayangkan kalau sampai dia pergi meninggalkan aku.

“Pa.” Sentuhan tangan mungil Andy membuyarkan semua lamunanku. “Papa kok dari tadi bengong saja?”

“Maafkan Papa. Tadi Papa sedikit melamun. Kalian sudah selesai sarapannya?”

Devan dan Andy mengangguk. “Kalau begitu kalian sudah mau naik ke atas? Sama Papa, yuk! Papa juga mau mandi.”

Aku dan anak-anak pun segera naik ke atas.

Aku seakan mendapatkan cara untuk menghindar dari Jingga. Sejak kejadian kemarin, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa kepada Jingga. Sikap Jingga yang biasa pun terlalu mengusikku.Terasa aneh.

Ketika aku selesai mandi dan berpakaian, aku baru mengingat kalau aku belum melihat ponselku dari semalam. Lidya pasti sudah mengirimkan banyak pesan kepadaku karena aku tidak mengabarinya sama sekali. Ini adalah pertama kalinya aku menghilang sejak kamu menjalin hubungan spesial.

Benar saja. Rentetan pesan masuk dari awalnya memanggilku, sampai akhirnya Lidya tampak kesal karena tidak ada satu pun jawaban yang aku berikan. Sepertinya pagi ini aku akan sibuk meladeninya.

Lihat selengkapnya