Aku tidak tahu apakah hidup belum cukup mengambil Dewa dariku, tetapi harus ditambah lagi dengan gangguan berupa kiriman-kiriman percakapan antara Lidya dan Dewa yang membuatku muak.
Selain itu, bahkan ada beberapa foto yang Lidya kirimkan untuk Dewa pun aku dapatkan. Aku tidak tahu siapa pengirimnya, dan aku tidak tahu untuk apa.
Apakah agar aku melepaskan Dewa? Bukankah aku sudah melepaskannya dan sedang menunggu prosesnya? Apakah itu belum cukup?
Aku tidak ingin menuduh siapa pun. Percakapan itu hanya Dewa dan Lidya yang tahu. Berarti, salah satu dari mereka lah yang mengirimkannya kepadaku.
Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Aku tidak ingin peduli apa isi percakapan mereka. Aku bahkan mematikan notifikasi Instagram-ku agar aku tidak harus melihatnya, tetqpi aku sengaja tidak mem-block akun itu. Siapa tahu semua ini akan berguna untukku kelak.
Rara, temanku yang juga adalah pengacara yang aku tunjuk untuk menangani kasusku lah yang juga tahu masalah ini selain Dewa dan Lidya. Aku merasa kalau aku perlu untuk mencurahkan kesedihanku kepada seseorang.
Selain aku selalu berlutut dan menangis kepada Tuhan untuk selalu diberikan kekuatan, aku perlu seseorang untuk mendengarkan aku.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk berbicara dengan Rara. Sebagai seorang sahabat, bukan seorang pengacara. Aku hanya butuh didengar dan bisa menangis sepuasku.
Aku menitipkan anak-anak kepada mertuaku dan aku pun pergi ke rumah Rara. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Sekitar setengah jam perjalanan. Kebetulan dia sedang ada di rumah, tidak di apartemennya.
Aku memarkirkan mobilku di salah satu garasi yang kosong. Rumah Rara tampak sepi. Orang tuanya memang selalu berpergian untuk mengurus bisnis mereka. Aku membunyikan bel dan tidak lama kemudian, pintu itu terbuka.
“Jingga?”
Aku mengenal sosok yang ada di hadapanku.
“Adam?”
Adam adalah kakak Rara yang hanya terpaut satu tahun dengan Rara. Dia lebih tua dua tahun dariku.
“Masuk, Jingga. Sudah lama tidak bertemu.”
“Iya, terima kasih Kak Adam. Rara ada?”
“Ada. Langsung saja ke kamarnya.”
Aku mengangguk dan melangkah meninggalkan Adam.
Aku mengetuk pintu kamar Rara dan memanggilnya. Rara memintaku langsung masuk karena dia sedang menelepon seseorang.
Aku menunggu selama lima menit sambil memainkan ponselku.