Hari ini Dewa pamit untuk pergi bersepeda keluar kota dengan salah satu temannya. Dia pamit pada anak-anak dan lalu sepertinya dia ingin mengecup keningku, tetapi aku menghindar. Aku tidak mau ada bentuk keintiman apa pun lagi dengannya. Aku mencoba untuk mencegah memberikannya harapan bahwa kami akan bisa bersama lagi.
“Aku akan memberikan kabar padamu. Kamu baik-baik di rumah, ya? Kalau ada apa-apa beritahu aku.”
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku tidak terlalu berharap banyak Dewa akan sering menghubungiku. Setelah keberadaan Lidya pun, ia tampak terlihat terlalu sibuk untuk berkomunikasi denganku. Lalu, apa yang akan menjadikannya hari ini berbeda?
Pada pukul delapan pagi, tiba-tiba saja ada sebuah pesan masuk. Dari Dewa yang mengabari kalau dia sudah sampai di garis start. Dan selain itu, dia bahkan mengirimkanku live location-nya. Aku sempat terdiam sebentar karena ini adalah hal yang aneh untukku.
“Apa dia salah kirim, ya? Harusnya mungkin dia mengirimkan ini ke Lidya,” ujarku dalam hati.
“Ah biarkan saja. Dia pasti sadar kalau membaca ulang pesan ini.”
Aku pun membalas dengan singkat. Aku memintanya untuk berhati-hati.
Satu harian itu, tidak seperti biasa, Dewa mengirimkan banyak pesan kepadaku. Setiap dia berhenti dia selalu mengabariku dan aku membalasnya dengan mengirimkan kegiatanku bersama dengan anak-anak.
Selain Dewa, ternyata akun yang pernah mengirimkan foto cincin itu juga mengirimkan pesan lewat Instagram kepadaku. Sepertinya, Lidya tampak sedang kebingungan karena tidak dapat menghubungi Dewa dan menuduhku melarangnya untuk berhubungan dengannya.
[Jingga, kenapa Dewa tidak dapat aku hubungi?]
[Kamu melarang dia, ya?]
[Seharusnya kamu sadar kalau Dewa sudah tidak mencintai kamu lagi.]
[Dia bertahan karena kami belum bisa bersatu.]
Aku membacanya. Dia juga pasti mendapatkan notifikasi kalau aku sudah membaca pesannya, tetapi pesan itu aku abaikan. Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni wanita tidak tahu malu yang merasa kalau dia adalah ratu di rumah tanggaku.
Kalau Dewa memang tidak menghubunginya, seharusnya dia yang menyadari posisinya kalau Dewa memang tidak memiliki kewajiban apa-apa.
Bukankah dia hanya simpanannya? Dan sejak awal dia sudah tahu dan tetap mau menjalaninya. Tetapi, sepertinya, seorang simpanan sudah mulai besar kepala dan banyak menuntut.
Sebenarnya, aku kasihan padanya. Aku tidak tahu apakah dia memang benar khawatir karena tidak dapat menghubungi Dewa, atau dia merasa Dewa sudah tidak dapat dia kendalikan lagi sehingga ia merasa egonya terluka.