Dua hari ini aku tidak membalas pesan dari Lidya. Sepertinya, dia mencari tahu bagaimana keadaanku kepada Dennis. Dia sampai bertanya apakah pesertanya ada wanita dan apakah ada yang dekat denganku. Mungkin Lidya khawatir kalau aku bermain di belakangnya.
Aku tidak keberatan ketika Dennis mengatakan kalau Lidya sedang menanyakan tentang aku.
Aku memang merindukannya. Beberapa kali aku sudah ingin membalas pesan darinya, tetapi selalu aku urungkan niatku itu.
Aku ingin menguji diriku sendiri apakah aku sanggup untuk melepaskan Lidya dan kembali kepada keluargaku. Dua hari ini memang cukup membuatku frustrasi karena aku menghentikan komunikasi kami begitu saja.
Kata-kata Dennis yang memperingatkanku soal Lidya juga cukup membuatku terus berpikir.
Apakah hanya aku yang terlalu buta karena cinta sehingga aku sulit untuk melepaskannya dan melihat semua sifat buruknya?
Sampai di rumah, aku menemukan istriku, Jingga sedang tertidur sambil memeluk kedua anakku yang tampak begitu nyaman.
Pemandangan itu adalah hal yang sangat menentramkan hatiku. Entah apa yang membuatku sampai bisa menjadi begitu gila memalingkan perasaanku dari Jingga. Bukankah dulu aku begitu tergila-gila padanya? Aku bahkan rela menunggu untuk bisa menjadikan dia milikku? Ke mana semua perasaan itu pergi?
Aku menutup kembali pintu kamar tidurku dan Jingga. Aku tidak mau mengganggu mereka. Aku memilih untuk mandi di kamar mandi tamu lalu beristirahat di ruang kerja yang telah menjadi tempatku beristirahat beberapa waktu belakangan ini.
Aku mendengar suara pesan yang masuk beberapa kali. Aku melihatnya dan semua itu dari Lidya. Dia belum menyerah untuk membuatku membalas pesannya.
[By, kamu sudah pulang?]
[Kamu masih marah? Jangan marah lagi dong lop lop.]
Kali ini dia mengirimkan pesannya melalui pesan Shopee. Satu hal baru lagi yang aku pelajari darinya.
[By? Kamu nggak kangen aku? Aku mikirin kamu setiap hari. Pesanku tidak ada yang kamu balas.]
[Kamu mau aku gimana, By? Aku nurut.]
[By? Aku tahu kamu baca pesanku. Please jawab, By.]
Aku menarik napas panjang. Aku tidak tega mendiamkannya lebih lama lagi dan membiarkan kebodohan kembali memimpin pikiran dan hatiku.
[Jangan ganggu Jingga lagi, oke?]
[Akhirnya kamu balas, By.]
[Aku kangen banget sama kamu.]
Lidya sepertinya tidak menggubris kata-kataku. Ia sibuk mengutarakan perasaannya kepadaku, kembali dengan berbagai kata manisnya.
[Aku lelah. Aku tidur dulu, ya?]
Aku sedang tidak ingin meladeninya, Karen itulah aku beralasan kalau aku ingin tidur. Aku tahu, dia pasti kecewa karena aku yang baru saja berkomunikasi dengannya tidak ingin berlama-lama bicara dengannya.
[Ya sudah, By. Kalau begitu kamu istirahat, ya? Besok saja kita ngobrolnya.]
Aku sampai harus memastikan sekali lagi jawaban Lidya. Aku kira, dia akan mulai merajuk lagi seperti biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia berubah menjadi manis seperti ini?
[Met bobo ya, By. Jangan lupa ketemu di mimpi, ya.]
[Aku sayang kamu selamanya.]