Aku sedang menyiapkan makan malam ketika aku melihat ada notifikasi pesan lewat Shopee masuk ke ponsel Dewa. Dewa sedang ada di bagian belakang rumah sedang membereskan dan menyiapkan sepedanya.
Lalu terbersit sebuah ide. Bagaimana kalau aku membalas pesan itu dan berpura-pura menjadi Dewa. Aku juga tahu bagaimana Dewa membalas pesan. Jadi, seharusnya tidak akan ketahuan, kan?
Aku pasti akan bilang kepada Dewa, tetapi saat ini aku ingin sedikit bersenang-senang. Setidaknya ada pembalasan kecil yang ia dapatkan dariku.
[By, besok jadi, kan?]
[Aku sudah siap-siap. Sepedaku juga sudah masuk ke mobil.]
Oh , ternyata mereka memiliki janji bertemu besok. Dewa hanya bilang kalau ada acara sepeda. Memang dia tidak menjelaskan secara detail.
[Jadi, Hun. Tapi, Jingga mau ikut.]
Aku mau menggodanya dan melihat seperti apa reaksi kecemburuan Lidya kepadaku.
[Aku sudah bilang supaya Jingga tidak usah ikut. Biarkan saja nanti biar dia sepedahan sendirian. Aku tetap temani kamu.]
Aku mencoba membuatnya merasa kalau Dewa lebih mengutamakan dirinya dibandingkan aku dengan harapan dia akan senang.
[Aaah malas.]
[Ya, sudah. Sana. Aku nggak mau.]
[Sudah. Kamu nggak usah ketemu aku lagi.]
Membaca jawaban Lidya hampir membuatku tertawa. Mengapa aku seperti sedang berbicara kepada anak kecil? Bukankah umur dia sudah 35 tahun. Dan apakah dia sering merajuk seperti ini kepada Dewa?
[Kok kamu jadi marah sama aku?]
[Au, ah! Aku nggak jadi gowes sama kamu besok. Malas.]
Aku berpikir sejenak apa yang akan aku ketik untuk membalas.
[Masa hanya karena ini kamu marah.]
Aku berusaha untuk membalas dengan tenang walau sebenarnya aku gemas.
[Iya!]
[Kamu tahu alasanku.]
[Aku malas.]
[Sudah. Nggak mood aku.]
Aku menahan tawa kembali. Benar kata Dewa. Kami dua pribadi yang sangat jauh berbeda. Dan tentu saja aku tidak mau disamakan dengannya.
[Ya, sudah. Besok, kan kita masih ketemu, Hun.]
Aku masih berperan sebagai Dewa yang sabar.
[Sudah ya. Aku mau tidur.]
[Gak! Nggak usah ketemu.]
[Kamu balik saja sama keluarga kamu.]
Loh! Sebentar. Pencurinya baik hati sekali mau mengembalikan barang jarahannya. Sayangnya, pemilik lamanya sudah tidak terima barang retur.
Kali ini aku tidak bisa menahan tawa. Aku benar-benar tertawa. Aku baru mulai berbicara dengannya saja sepertinya energiku sudah cukup terkuras, bagaimana dengan Dewa selama ini?
[Aku bela-belain semua demi sayangnya aku sama kamu.]
[Kamu sering sakitin aku, aku terima yang penting kamu happy.]
Okeh. Sekarang mari berperan sebagai Dewa yang sedikit kesal.
[Udah. Aku nggak mau.]
[Kamu mau sepedahan ke mana Sama siapa. Aku nggak peduli.]
[Terserah.]
Ah. Lidya. Wanita itu lucu sekali. Apa banyak wanita seperti ini di luar sana, ya? Atau aku yang memang terlalu mandiri sehingga aku memang tidak suka merajuk seperti ini untuk masalah sepele. Apalagi masalah yang sebenarnya dia buat sendiri.
Kalau Lidya tidak mau bersaing dengan wanita lain, harusnya dia bersama suaminya. Bukan mengganggu milik orang lain.