Aku terbangun di sebuah kamar yang sedikit asing untukku. Semalam aku memutuskan untuk menginap di rumah Rara karena aku sedang tidak ingin melihat wajah Dewa.
Setelah foto yang dikirimkan kepadaku itu, aku menjadi semakin muak dengan Dewa dan Lidya. Aku hanya ingin semua cepat berakhir dan aku bisa memulai hidup baruku lagi bersama anak-anak.
Aku melihat jam sudah menunjuk pukul sembilan pagi dan Rara sudah tidak ada di sampingku. Sepertinya dia sengaja tidak membangunkan aku agar aku bisa beristirahat lebih lama.
Aku raih ponsel yang dari semalam sengaja aku matikan. Aku tidak ingin diganggu oleh pesan atau telepon dari Dewa.
Aku menyalahannya dan langsung menerima beberapa pesan dan semuanya dari Dewa. Dia mencari ku dan mengatakan akan menjemputku.
Sebuah panggilan langsung masuk sesaat setelah aku membaca pesan dari Dewa. Sepertinya, dia melihat kalau aku sudah membaca pesannya.
“Halo.”
“Halo, Jingga. Akhirnya kamu mengangkat teleponku. Kamu sudah bangun? Aku jemput, ya?”
“Sepertinya, aku butuh waktu sendiri dulu, Wa. Nanti aku akan menjemput anak-anak di rumah mama dan aku akan tinggal sementara di apartemen.”
“Sebenarnya ada apa, Jingga? Semalam aku menjemputmu, tetapi Adam melarangku. Apakah kita bisa bicara baik-baik?”
“Tidak ada yang perlu untuk kita bicarakan lagi, Wa. Aku hanya meminta tolong jangan persulit proses ini. Kita hanya akan saling menyakiti kalau seperti ini.”
“Setidaknya, tolong beritahu aku apa yang terjadi. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba kamu tidak mau pulang.”
“Apakah semalam kamu bersama Lidya?”
“Tidak. Aku menunggumu di rumah. Ada apa sebenarnya, Jingga?”
“Ada yang mengirimkan aku foto kamu sedang berada di pelukan seorang wanita. Sepertinya, kalian menghabiskan malam waktu bersama.”
“Foto? Foto apa? Kita harus membicarakan ini agar semuanya jelas, Jingga. Aku tidak mau kamu dan anak-anak tinggal di apartemen.”
“Aku sedang tidak bisa melihatmu, Wa. Tolong mengerti.”
Aku mematikan begitu saja panggilan Dewa. Aku sedang tidak ingin mendengar suaranya, melihat wajahnya atau apa pun tentangnya. Aku sedang butuh ketenangan agar aku bisa meredam emosiku untuk menghadapi hari ke depannya.
Aku pun mencuci wajahku dan turun ke bawah. Rasanya tidak enak kalau aku sudah bertamu, tetapi aku malah tidur sampai siang hari seperti ini.
Aku hanya menemukan Kak Adam yang sedang berdiri membelakangiku di dapur. Sepertinya dia sedang membuat sesuatu.
Sepertinya Kak Adam mendengar suara langkah kakiku dan dia menoleh.
“Kamu sudah bangun?”
“Sudah, Kak. Rara ke mana?” Aku melihat sekeliling dan tidak menemukan Rara.
“Oh, dia sedang ada janji dengan klien. Tadi dia berpesan untuk tidak membangunkan mu agar kamu bisa istirahat. Tunggu sebentar, ya? Aku sedang membuat sarapan.”
“Maaf jadi merepotkan Kakak.”
“Kamu ini sudah seperti orang lain saja. Dulu kan kamu sering menginap, bahkan aku yang selalu membuatkan sarapan untuk kalian.”