Rasanya, dadaku tidak bisa berhenti berdetak dengan kencang ketika aku bertemu dengan Jingga setelah sekian lama. Dia berdiri di hadapanku setelah lima belas tahun kami tidak bertemu.
Aku berusaha untuk tenang ketika aku membuka pintu dan mempersilahkannya masuk untuk menemui Rara. Aku bisa melihat kalau dia juga terkejut ketika melihatku. Wajar saja, selama ini, aku tidak pernah lagi menghubunginya. Pertemanan kami terputus begitu saja karena pilihanku.
Jingga masih terlihat cantik seperti dulu. Tidak banyak yang berubah, hanya saja dia terlihat jauh lebih dewasa sekarang. Senyumannya pun masih seperti yang dulu. Senyumannya yang pernah aku relakan karena dia memiliki tambatan hati yang lain.
Aku memang terlalu pengecut saat itu. Aku takut jika Jingga sampai mengetahui perasaanku kepadanya, aku akan kehilangannya. Karena itu, aku memilih untuk menjadi seseorang yang bisa ia andalkan kapan saja dalam batas seorang sahabat.
Aku bahkan harus menahan kecemburuanku ketika senyumnya ia berikan untuk orang lain. Aku selalu mendengar ceritanya tentang bagaimana pria itu akhirnya berhasil mendapatkan hatinya setelah sekian lama.
Aku tahu betul bagaimana kisahnya dengan Dewa sebuah kisah dari cinta yang bertepuk sebelah tangan, sampai akhirnya kegigihan Dewa berhasil memenangkan hatinya.
Aku kecewa. Aku kira, pada akhirnya Jingga akan melepaskan Dewa karena hatinya tidak dapat tersentuh. Ternyata aku salah. Aku hanya terlalu pengecut untuk berani memperjuangkan Jingga seperti Dewa. Pada akhirnya, aku memang hanya bisa menerima kalau kami akan tetap menjadi sahabat karena aku memilih jalan itu.
“Dewa mengkhianati Jingga, Kak.”
Itu adalah kalimat yang langsung membuatku tanpa berpikir panjang terbang kembali ke Jakarta. Aku sendiri baru menyadari tindakan impulsifku ketika aku duduk selama 15 jam di dalam pesawat.
Aku bukannya tidak pernah mencoba untuk melupakan Jingga. Aku beberapa kali mencoba menjalin hubungan dengan wanita lain, tetapi aku selalu mencari Jingga di diri mereka. Sampai hubunganku yang terakhir membuatku tersadar.
Anna, nama wanita yang sempat menjadi tunanganku itu akhirnya menyadarkanku kalau aku tidak akan pernah bisa menemukan seseorang yang tepat jika aku masih hidup dalam masa laluku yang tidak bisa aku lepas.
Aku telah menyakiti wanita yang mencintaiku karena aku memilih untuk membiarkan Jingga mengisi hampir seluruh ruang di hatiku.
Akhirnya, aku pun tidak lagi mencari seseorang untuk menggantikan Jingga, karena memang belum ada yang bisa untuk melakukannya.
Aneh bukan? Aku mungkin seperti lelaki bodoh yang tidak bisa menerima kenyataan dan terus hidup di masa lalu, tetapi masa lalu itu lah yang selalu bisa membuatku tersenyum walaupun aku tahu kalau aku sudah kalah dan harus melepaskannya, bahkan sebelum aku berjuang.
Aku bahkan berdoa kepada Tuhan agar diberikan satu lagi kesempatan untuk bisa memperjuangkan cintaku. Aku berharap laki-laki itu menyakiti Jingga dan mereka berpisah. Mungkin aku memang jahat dan doa itu tiba-tiba saja terkabul.