Hari ini aku menjemput anak-anak untuk membawa mereka makan di sebuah restoran jepang favorit mereka. Sejak dua hari yang lalu, Devan dan Andy sudah memintaku untuk membawa mereka ke sana.
“Ma, Papa kan suka rice bowl di sini. Nanti kita bungkus untuk Papa, ya? Terus kita antarkan ke tempat Papa kerja.”
“Iya. Nanti kita bungkus untuk Papa, ya?”
Aku mencoba untuk membalas kebaikan Dewa yang sudah menyiapkan makan malam untuk kami kemarin. Dan aku juga tidak ingin mengecewakan Andy yang sepertinya sudah merindukan Dewa lagi.
Setelah selesai makan, dan makanan untuk Dewa pun sudah siap, aku langsung mengajak mereka ke apartemen untuk mengunjungi Dewa. Aku mengirimkan pesan kepadanya, tetapi belum ia baca sampai kami sampai.
Seharusnya Dewa ada di apartemen, karena biasanya, kalau dia ingin keluar, dia pasti mengabariku. Dan tidak ada kabar darinya. Jadi, aku menyimpulkan dia masih berada di apartemen dan bekerja di sana.A
Kami naik lift sambil aku melihat ponselku. Pesanku belum juga Dewa baca. “Mungkin dia sedang tertidur," gumamku.
Aku memiliki kunci apartemen kami. Aku membukanya dengan anak-anak yang masih berada di samping pintu. Dan aku bersyukur karena Andy tidak masuk lebih dulu dariku.
Ketika aku membuka pintu, apa yang aku lihat di hadapanku benar-benar membuatku terpaku. Dewa sedang duduk di sofa dan Lidya sedang berada di pangkuannya dengan keadaan berantakan, meskipun mereka masih memakai pakaian mereka masing-masing.
Aku bisa melihat Dewa terkejut dengan kedatanganku dan Lidya tampak tidak peduli dengan masih duduk di atas pangkuan suamiku.
“Ma, kok tidak masuk?’
Pertanyaan Andy langsung menyadarkanku dan dengan segera aku langsung menutup pintu. Tidak mungkin aku membiarkan anak-anakku melihat apa yang sedang ayahnya lakukan di dalam sana.
“Untung saja tadi aku melarang Andy yang memaksa untuk masuk duluan,’ gumamku dalam hati.
Sepintas aku mendengar Dewa memanggil namaku, tetapi aku tetap berjalan dengan cepat sambil memegang tangan Andy dan Devan.
Bahkan makanan yang aku bawa tadi sudah jatuh di depan pintu apartemen dan aku tidak memedulikannya. Yang penting saat ini aku harus membawa anak-anak pergi dari sini.
Aku menekan tombol lift dan berharap pintu lift akan terbuka sebelum Dewa berhasil mengejar kami. Sialnya, lift itu masih berada di bawah, sedangkan aku berada di lantai dua puluh lima.
Deru langkah cepat dan suara Dewa yang memanggil namaku semakin terdengar dan aku tahu kalau aku tidak bisa menghindarinya sekarang. Dewa akan menemukanku sebelum pintu lift terbuka.