Aku melangkah dan membuka pintu apartemen. Sosok yang tidak aku sangka akan datang berdiri di hadapanku dan tiba-tiba saja memelukku dengan erat.
Aku terkejut dan sempat terpaku beberapa saat, sampai aku akhirnya mendorong tubuhnya perlahan untuk menjauh.
“Kenapa kamu datang ke sini? Bukankah kamu seharusnya kerja?”
“Aku sudah berpikir semalaman, By. Kamu akan butuh seseorang di samping kamu setelah kamu berpisah dengan Jingga.”
“Hun, sebaiknya kamu pergi. Nanti kamu terlambat masuk kerja.”
“Kamu habis minum, kan? Aku bisa menciumnya.”
Tanpa permisi, Lidya tiba-tiba saja masuk ke dalam apartemenku.
“Semalam kamu bersama Jingga, ya?” Lidya melihat ada sarapan di atas meja makanku.
Aku enggan menjawab pertanyaannya.
“Kenapa kamu tanpa pemberitahuan datang ke sini? Apa yang terjadi kalau Jingga ada di sini?”
“Dia yang memasak untukmu?” Lidya masih dengan kecemburuannya.
“Bukan kah wajar kalau istriku memasak untuk suaminya?”
“Aku akan belajar masak, By. Supaya aku juga bisa masak buat kamu.”
“Seharusnya, kamu masak untuk suami kamu bukan aku.”
Pintu apartemenku masih terbuka. Aku bahkan masih berdiri di dekat pintu. Aku tidak berjalan mendekati Lidya.
“Aku akan tetap ada di sisi kamu, Wa. Aku tidak akan meninggalkan kamu seperti Jingga. Sekarang kamu tahu kan siapa yang tulus sayang sama kamu?”
“Hun, kita bicara nanti, ya? Aku tidak mau orang salah sangka melihat keberadaanmu di sini.”
Lidya menatap ke arahku. Wajahnya tampak tidak suka dengan perkataanku yang mengusirnya.
“Ya sudah. Karena aku harus bekerja, aku mengalah. Aku akan pergi. Nanti siang, aku bawakan makan siang, ya?”
“Tidak perlu. Aku akan pulang ke rumah dan makan bersama keluargaku.”
Jelas itu adalah sebuah kebohongan. Aku hanya tidak ingin Lidya kembali datang. Aku benar-benar ingin mengakhiri hubungan ini.”
“Untuk apa sih kamu masih mengemis pada Jingga?”
“Aku bahkan akan mencium kakinya kalau hal itu bisa membuat dia memaafkan aku.”
Lidya melangkah menuju pintu keluar dan berhenti di sampingku. Tiba-tiba saja dia mencium bibirku.