Demi untuk bisa menghindari Lidya, aku menghentikan kegiatan bersepedaku. Aku juga jarang berkumpul dengan teman-teman sepeda karena aku tidak ingin ada kesempatan untuk Lidya bertemu denganku walaupun dia masih bisa mencari jalan lain, termasuk datang ke apartemenku.
Setidaknya, aku membatasi kemungkinan kami untuk bisa bertemu.
Aku sudah mengganti kode pintu apartemenku jadi dia tidak bisa mengejutkanku dengan tiba-tiba berada di dalam apartemenku ketika aku pergi.
Sejak aku menemukan dia berada di atas tempat tidurku, aku belum bertemu lagi dengannya. Dia selalu mengirimkan pesan dan tidak ada satu pun yang aku baca. Tidak hanya melalui aplikasi chat, dia bahkan mengirimkan melalui Instagram, Shopee, bahkan email.
Aku tidak mengerti apa lagi yang dia inginkan dariku. Kalau dia begitu ingin bersamaku, mengapa dia tidak mau melepaskan suaminya?
Aku duduk di ruang tamu dengan surat panggilan pengadilan yang ada di tanganku. Aku berkali-kali membacanya. Aku berharap semua ini adalah mimpi dan aku akan terbangun dengan Lidya yang tidak pernah hadir dalam hidupku.
Jingga meminta padaku untuk tidak mempersulit proses ini. Dia begitu ingin lepas dariku, tetapi aku tidak ingin dia pergi dari hidupku. Aku tidak ingin ada pria lain yang akan membahagiakannya selain aku. Dan aku tidak ingin anak-anakku menyayangi calon ayah barunya. Aku tidak rela.
Kalau aku memutuskan untuk tidak datang, makan keputusan cerai kami akan langsung menjadi kenyataan. Hal itu mungkin bisa membuat Jingga bahagia, tetapi bukan kebahagiaan itu yang ingin aku berikan padanya. Aku ingin kami bahagia seperti dulu sebelum aku membiarkan Lidya masuk ke dalam hatiku.
Bahkan sekarang aku ragu apakah aku benar-benar mencintainya? Apakah semua perasaan itu hanyalah hal klise karena aku merasa bahagia? Seseorang bisa membuat kita bahagia, tetapi tidak berarti kita mencintainya, kan?
Aku berusaha mengikuti kemauannya hanya agar dia tidak meninggalkanku dan rasa bahagia itu tidak hilang, tetapi semua itu semu. Buktinya, ketika kami diterpa masalah, kapal kami langsung oleng dan perlahan karam.
Perasaan kami tidak sekuat itu untuk mempertahankan kapal kami dari ombak.
Berbeda dengan Jingga. Kapal kami memang hampir karam, tetapi itu karena aku yang terus melubanginya, sedangkan Jingga selalu berusaha mengeluarkan air dari kapal kami, tetapi pada akhirnya ia terlalu lelah dan memutuskan untuk membiarkan kapal itu karam.
“Kalau aku tidak datang, apakah kebencianmu padaku akan berkurang, Jingga? Apakah setelah kita berpisah aku masih bisa memperjuangkan hatimu lagi?”
Aku bergumam sendiri.
“Tetapi, kalau aku membiarkan kita berpisah, apakah kamu akan membuka hatimu untuk pria lain dan akan segera melupakanku begitu saja?”
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan persidangan ini. Semua pilihan tidak ada yang bisa membuat Jingga mencintaiku seperti dulu lagi.