Dua hari menuju hari persidanganku aku rasa cukup berat. Ada sedikit kecemasan di dalam diriku. Bukan karena aku ragu dengan keputusanku, tetapi aku takut kalau hal ini akan sangat mempengaruhi anak-anakku.
Selain itu, aku juga harus menghadapi Dewa yang tidak lelahnya memohon kepadaku untuk membatalkan tuntutannya. Dua hari ini dia terlihat sangat kacau, aku rasa, dia bahkan tidak tertidur.
Wajahnya sangat terlihat lelah hari ini. Seperti kemarin, setelah mengantar anak-anak, dia langsung pulang ke rumah, tidak ke apartemennya.
Dia memohon agar aku mengizinkanya tetap dekat dengan aku dan anak-anak dan bisa melihat kami lebih lama.
Dewa lebih banyak terdiam hari ini, tidak seperti kemarin ketika dia menangis dan memohon di hadapanku. Mungkin dia sudah menyerah untuk mengubah pikiranku.
Yang Dewa lakukan hanya membantu pekerjaanku, membereskan beberapa barang jualanku di gudang dan memastikan kalau rumah ini tidak membutuhkan sesuatu untuk diganti dalam waktu dekat.
Sepertinya, dia sudah bersiap untuk tidak lagi menjadi bagian dari hidupku.
Sudah dari jam sepuluh pagi, aku melihat Dewa sibuk di dapur. Aku tidak tahu dia sedang memasak apa karena aku baru saja turun untuk makan siang.
“Kamu sedang memasak apa, Wa?” Sebenarnya, dari wanginya ketika aku turun, aku tahu apa yang sedang Dewa masak.
“Sup iga kesukaanmu. Kamu sering memintaku membuatkannya. Aku membuat sekalian banyak untuk kamu simpan di freezer.”
Ada sedikit rasa sedih merayap di hatiku. Dewa memang benar, aku sangat menyukai sup iga buatannya. Dulu, Dewa hampir setiap minggu membuatkannya untukku.
Semua kebiasaan dan kenangan tentang kami masih melekat sangat kuat diingatanku. Hal yang harus aku biasakan untuk tidak terjadi lagi.
Dewa mengambil dua mangkuk sup dari panci besar dan meletakkannya di atas meja makan.
Dia menyiapkan semuanya. Mengambilkan nasi untukku. Sendok dan garpunya pun sudah ia siapkan. Lalu segelas air putih di samping piringku.
Setelah siap, Dewa duduk di hadapanku dan hanya memandang ke arahku. Aku sedikit merasa tidak nyaman.