Retak Berhamburan

blank_paper
Chapter #62

Bab 62 - Sidang Pertama (PoV Jingga)


Seperti yang sudah Rara jelaskan, sidang pertama hari ini kemungkinan besar akan diisi dengan mediasi kalau Dewa datang dan meminta untuk rujuk. Ketidak sepakatan antara kami akan membuat sidang harus di lakukan lebih dari satu kali.

Aku tidak bisa memaksa Dewa untuk tidak datang. Dia memiliki hak untuk memberikan pendapatnya tentang sidang cerai dengan cara yang benar.

Aku dan Rara sudah sampai di pengadilan negeri dan sudah mengambil nomor antrean sidang. Aku belum melihat Dewa. Jujur saja, aku berharap Dewa tidak datang agar putusannya bisa langsung dibacakan. Semakin cepat selesai, maka akan semakin baik.

Bagiku, masalah ini tidak perlu berlarut-larut. Aku hanya ingin segera mendapatkan ketenanganku. Aku ingin memulai hidupku lagi bersama anak-anak.

“Apakah kamu melihat apa yang aku lihat tadi?” tanya Rara kepadaku ketika kami sedang duduk di ruang tunggu.

“Melihat apa?” tanyaku tidak mengerti.

“Mobil Ignis biru. Dan plat nomornya sesuai dengan milik wanita itu,” sambung Rara dengan wajah kesal.

Aku hanya tersenyum. Aku melihat mobil itu terparkir di bawah pohon rindang ketika kami mencari parkir tadi. Hanya saja aku tidak mengatakan kepada Rara karena aku takut Rara akan berhenti tepat di mobilnya dan mencari keributan.

Aku sangat tahu pemilik mobil itu. Aku tidak tahu apakah Dewa datang bersama wanita itu atau tidak. Sebenarnya, aku juga tidak ingin tahu. Hanya saja, apakah mereka sudah seberani itu dan tidak menghargaiku lagi sampai di persidangan perceraian kami pun mereka harus datang bersama.

Tetapi, itu hanya dugaanku. Aku tidak melihat sendiri apakah mereka benar bersama atau tidak.

Mungkin saja sang wanita yang datang sendiri karena sudah tidak sabar untuk mengambil sesuatu yang sudah aku lepaskan.

“Kalau mereka datang bersama, itu sih benar-benar keterlaluan. Ingin aku seret saja rasanya wanita itu keliling ruang persidangan.”

“Dan kamu langsung terkena hukuman oleh hakim.”

Kami pun tertawa membayangkan hal itu benar terjadi.

“Kamu hebat.”

Aku memandang Rara tidak mengerti.

“Di saat seperti ini kamu bisa tertawa lepas.”

“Aku sudah tidak ada beban, Ra. Aku sudah menganggap Dewa sudah keluar dari hidupku.”

Rara meraih tanganku. “Kamu tahu kalau aku dan Kak Adam akan selalu ada untukmu, kan?”

Aku mengangguk. “Aku tahu, Ra. Terima kasih, ya?”

Lihat selengkapnya