Pagi ini aku bangun dengan perasaan kalut. Aku baru bisa tertidur jam empat pagi sambil menggenggam surat undangan sidang yang akan mengakhiri pernikahanku dengan Jingga.
Semalaman aku berharap kalau Jingga akan menghubungiku dan mengatakan kalau dia akan membatalkan keputusannya, tetapi hingga aku tertidur, tidak ada pesan atau panggilan darinya.
Yang aku terima justru rentetan pesan dari Lidya yang menanyakan apakah sidangku jadi digelar hari ini. Aku hanya mengabaikannya. Aku tidak peduli.
Mengapa dia hanya memikirkan apakah sidang itu akan digelar, tetapi tidak bertanya bagaimana keadaanku? Apakah dia seegois itu dengan hanya menanyakan perihal apa yang menguntungkannya saja?
Aku melangkah menuju ke kamar mandi. Aku berdiri tepat di depan kaca dan memandangi pantulan diriku di cermin.
“Kamu tampak sangat kacau, Wa. Tanpa Jingga ada di sampingmu, kamu benar-benar kehilangan dirimu sendiri.” Aku berbicara pada diriku yang terlihat di cermin.
Aku membiarkan rambutku semakin memanjang tanpa memotongnya, aku tidak bercukur dan kantung mataku tampak menggelap.
“Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apakah kamu akan memperjuangkan Jingga, atau kamu akan memberikan apa yang dia mau? Sebuah kebebasan?”
Aku terdiam. Aku tidak mampu membayangkan kalau Jingga tidak lagi menjadi istriku.
Dengan segera, aku bersiap-siap untuk memperjuangkan statusku sebagai suami Jingga. Aku hanya mandi dan berpakaian se rapi mungkin, tetapi penampilanku dengan jas tidak dapat menutupi kekacauan di wajahku.
Aku tiba pukul sepuluh pagi, tetapi aku hanya berdiam di dalam mobil yang aku parkir menghadap ke ruang tunggu. Aku belum melihat Jingga.
Sepuluh menit setelah aku tiba, aku melihat Jingga datang bersama dengan Rara. Rasanya, aku ingin langsung berlari memeluknya dan berlutut di hadapannya. Memohon ampun.
Aku menahan diri karena aku tidak ingin membuat keributan yang berujung akan membuat Jingga marah padaku.
Aku hanya memandangi semua gerak geriknya selama menunggu. Dia tampak ceria. Bagaimana dia bisa seceria itu? Apakah berpisah denganku membuatnya begitu bahagia?
Pandanganku benar-benar tidak dapat lepas darinya sampai aku lihat Rara dan Jingga berdiri dan masuk ke ruang sidang. Aku segera menyusul. Aku tidak ingin hari ini menjadi hari terakhir aku menyandang status suami Jingga.
Aku menyatakan ketidak setujuanku untuk berpisah. Aku bahkan nekat datang sendiri tanpa di dampingi pengacara. Aku tahu kalau aku meminta untuk rujuk, maka sidang ini akan berlanjut dengan mediasi, yang artinya, aku masih memiliki waktu untuk mencoba mengubah keputusan Jingga kembali.
Dan sesuai dengan harapanku, hakim memutuskan untuk kami melakukan mediasi. Aku menghela nafas lega, tetapi Jingga tampaknya menghela nafas kecewa.