[By, aku di depan apartemen mu. Aku tidak bisa masuk.]
[Kamu di mana?]
[Satpam bilang kamu melarangku masuk.]
[Kamu baik-baik saja?]
Rentetan pesan yang aku terima dari Lidya hanya aku abaikan. Aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Aku tidak boleh memberikan sedikit celah atau semua akan kembali seperti dulu lagi.
Besok adalah hari mediasiku dan tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali berdoa dan berharap Tuhan masih bersedia untuk membantuku dan memberikan aku kesempatan untuk menepati janji pernikahanku.
Jingga tidak mengizinkanku untuk menginap walaupun aku beralasan untuk tidur bersama anak-anak. Jingga bahkan mengatakan kalau seharusnya mereka tidak bertemu sampai hari mediasi.
Sepertinya, Jingga sudah benar-benar mantap untuk menghilangkanku dari kehidupannya. Bagaimana dia bisa begitu mudah dan terlihat seperti tidak memiliki beban dalam menghadapi proses persidangan ini?
Aku sendiri terlihat menyedihkan. Aku tidak peduli dengan hari-hariku dan aku bahkan tidak dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaanku.
Keesokan harinya, aku memilih pakaian yang pernah Jingga pilihkan untukku. Dia sangat menyukai kemeja ini. Kemeja berwarna putih kotak-kotak yang aku padu padankan dengan jas tweed berwarna coklat.
Jingga selalu menyukai gaya old money. Dia tidak suka penampilan yang mencolok. Warna pakaiannya pun tidak terlalu beragam. Dia memang memiliki selera berkelas.
Aku berdiri di depan kaca. Aku ingat bagaimana Jingga memuji penampilanku ketika aku mencoba kombinasi kemeja dan setelan jas ini di sebuah butik.
“Apakah kamu masih mengingat pakaian ini? Kamu sangat menyukainya dulu,” ujarku dalam hati.
Aku berharap dengan aku memakai pakaian ini, kenangan indah kami akan bangkit kembali dan bisa menggoyahkan keputusan Jingga.
Aku berangkat dari apartemen pukul delapan pagi. Pertemuan kami akan diadakan pada pukul sepuluh.
Aku sampai sekitar pukul setengah sepuluh dan aku belum melihat Jingga. Aku duduk di ruang tunggu setelah aku berbicara kepada petugas.
Selama menunggu, aku hanya melihat galeri foto-fotoku bersama Jingga. Semua masih tersimpan rapi.
Gerakan tanganku berhenti pada foto pernikahan kami. Sebuah pesta outdoor sederhana yang tidak mengundang banyak orang.
Suasana romantis dan akrab sangat terasa waktu itu. Bahkan foto-foto kami bersama kerabat dan teman-teman pun berbeda dari foto pernikahan kebanyakan.
Kami menghampiri mereka dan berfoto dengan gaya bebas. Aku bahkan ingat, Jingga melepas sepatu brukatnya karena dia tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi.