Sidang keduaku akhirnya di putuskan akan digelar dalam satu bulan kedepan.
Sebenarnya aku berharap hanya perlu menunggu beberapa hari. Tidak ada yang aku persiapkan. Sejak aku memutuskan untuk mengajukan gugatanku, aku memang sudah mantap dan mempersiapkan diri.
Entah ini adalah kebetulan, atau memang sudah di atur, sidang keduaku akan di gelar satu hari sebelum hari pernikahanku dengan Dewa. Cukup ironis, bukan?
Sepertinya, kami tidak akan sampai pada pernikahan kami yang ke enambelas.
Aku berpikir, mungkin memang lebih baik seperti ini. Aku tidak mau melewati hari jadi pernikahanku lalu kami bercerai. Entahlah. Bagiku akan menjadi hal yang sedikit aneh.
Satu minggu ini, aku beberapa kali mendapatkan pesan dari ibu mertuaku. Dia mengabari keadaan Dewa yang benar-benar kacau. Beliau memintaku untuk melihat Dewa sebentar.
Sebenarnya, ibu mertuaku tidak ingin menggangguku dan sangat menghormati keputusanku, tetapi aku tahu, sebagai seorang ibu, beliau pasti sangat mengkhawatirkan anaknya.
[Bisakah kamu makan siang atau makan malam sebentar bersama kami?]
[Setidaknya, bantu Dewa untuk makan dengan benar.]
[Setiap hari dia hanya berkutat dengan pekerjaannya dan selalu melewatkan jam makannya.]
[Dewa juga mungkin hanya tertidur dua jam setiap hari.]
[Mama khawatir. Maaf kalau permintaan mama terlalu berlebihan.]
“Ah! Aku tidak tega menolak permintaan mama.”
Aku sandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Pesan itu belum aku balas, tetapi aku tahu, kalau bagaimanapun aku akan pergi ke rumah mertuaku untuk melihat Dewa.
Aku putuskan untuk datang besok saat makan siang agar aku tidak harus membawa anak-anak dan mereka melihat keadaan ayah mereka yang sedang kacau.
Sejak mediasi, Dewa tidak pernah menghubungiku. Aku pikir dia baik-baik saja atau bahkan mungkin rujuk dengan Lidya, tetapi sepertinya dia tidak ingin menampakkan hari-hari buruknya di hadapanku.
Aku bahkan tidak tahu kalau Dewa tidak lagi tinggal di apartemen setelah hari mediasi.
Setelah mengantarkan anak-anak ke sekolah, aku menyempatkan untuk membeli buah dan beberapa kue untuk aku bawa ke rumah mertuaku.
Aku sengaja datang lebih awal karena biasanya aku selalu membantu menyiapkan hidangan bersama ibu mertuaku.
“Jingga! Ayo masuk!” Ibu mertuaku menyambutku dengan ceria.
Ketika aku setuju untuk datang, beliau tampak begitu senang. Dia berharap banyak agar aku bicara pada Dewa dan membujuknya untuk tidak terpuruk terlalu lama.
“Ini, Ma. Ada buah dan kue kesukaan papa.”
“Terima kasih ya, Sayang. Papa nanti akan pulang untuk makan siang. Dewa sedang bekerja di kamarnya seperti biasa.”
Aku meletakkan tas berisi buah dan makanan di atas meja.
“Mama sedang masak apa?”
“Tidak ada yang istimewa. Mama hanya masak buncis tumis daging cincang, puyonghai, dan gurame asam manis.”
“Aku bantu, ya?”