Pikiranku suntuk. Semalam aku hanya bisa tertidur selama dua jam dan ketika bangun aku langsung melanjutkan pekerjaanku.
Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah bekerja tanpa henti agar bayangan kehilangan Jingga hilang dari pikiranku, tetapi semua itu sia-sia.
Bagaimana tidak? Foto Jingga masih menghiasi layar laptopku dan di meja kerjaku, foto pernikahan kami dan beberapa foto lainnya masih aku biarkan terpajang di sana.
Setelah pengkhianatanku, kini aku menyadari betapa aku masih sangat mencintai Jingga. Mengapa aku harus menyadarinya setelah semua terlambat?
Aku membutuhkan secangkir kopi kembali untuk mempertahankan kesadaranku. Sejak pagi, sudah tiga cangkir yang kutenggak.
Ku bawa cangkir yang sudah kosong dan menyisakan ampas kopi itu turun ke bawah. Aku sempat tidak mempercayai pendengaran ku. Suara Jingga sayup-sayup terdengar dari arah lantai bawah.
Tidak mungkin, kan? Tidak mungkin Jingga mau datang ke rumah ini. Aku bahkan sempat berhenti melangkah dan mencoba mendengarkan kembali untuk memastikan kalau semua tidak hanya ada di dalam khayalanku karena aku sangat merindukannya.
Aku langsung mempercepat langkahku ketika aku yakin kalau yang aku dengan benar-benar adalah suara Jingga. Aku berhenti di bingkai pintu dapur dan di sanalah aku melihat Jingga sedang berdiri di sebelah ibuku dan mereka sedan memasak bersama. Jingga tersenyum. Dulu, dia sering memberikan senyuman itu untukku.
“Jingga?” Mulutku begitu saja memanggil namanya. Sekejap kerinduanku sedikit terobati dengan melihatnya berdiri di hadapanku. Dia terlihat cantik dengan kemeja loose biru muda dan celana jean ¾ yang membingkai indah kaki jenjangnya.
Tubuh Jingga berbalik ke arahku ketika dia mendengar namanya di panggil. Dia tersenyum seakan tidak ada yang terjadi di antara kami. Hampir saja aku bergerak untuk mendekat dan memeluknya.
Dia menanyakan keadaanku, tetapi seperti yang bisa dia lihat. Aku kacau. Hidupku berantakan ketika aku tidak bersamanya. Semua terasa kosong.
Beruntung, sepertinya ibuku tahu kalau aku merindukan Jingga dan ingin berbicara dengannya. Aku tahu kalau Jingga mau bicara berdua denganku karena rasa tidak enaknya terhadap mama. Aku tidak peduli, yang penting Jingga dan aku bisa berbicara.
Aku menahan diri untuk berada di dekatnya. Aku memilih duduk di hadapannya. Dengan begitu, aku dapat lebih puas memandanginya untuk mengobati kerinduanku.
Dari percakapan kami, aku memang menyadari kalau statusku sebagai suami Jingga benar-benar akan berakhir dalam satu bulan ini. Pendirian Jingga benar-benar sekokoh batu karang. Dengan melihat keadaanku seperti ini pun, keteguhan hatinya tidak berubah.
“Apakah mungkin, suatu hari nanti, entah kapan, hatimu akan bisa terbuka lagi untukku?”