Sudah lama aku tidak membuka email pribadiku. Aku melihat ada beberapa email yang Lidya kirimkan padaku. Aku tidak berminat untuk membukanya, tetapi perhatianku tertuju pada email terakhirnya.
Email itu diberi judul Selamat Tinggal, By.
Aku membukanya. Sebenarnya aku ragu, tetapi ada rasa penasaran di hatiku. Aku ingin tahu apakah Lidya benar-benar akan melepaskan ku.
{Aku berdoa, semoga cinta kamu tidak pernah berubah ke aku.
Kalau Tuhan memberikan jalan untuk kita bisa bersama, pasti Dia memberikan jalan yang terbaik. Aku percaya itu, By.
Aku akan tetap pakai semua barang yang pernah kamu kasih ke aku.
Rekening kamu juga masih aku pegang.
Kalaupun suatu saat aku pisah sama suamiku, aku nggak akan kerja di kantor cabang BSD lagi, aku akan kerja di kantor pusat, By.
Jangan cari aku lagi ya, By. Jadikan saja aku adik kamu yang hilang, dan aku akan kembali di waktu yang Tuhan tetapkan untuk kita bersama.
Selamanya, aku cinta kamu, By.}
Dan jari bodohku membalas email itu. Awal dari semua kekacauan yang terjadi. Seharusnya aku tidak pernah membalas dan membiarkan Lidya hilang dari hidupku. Membiarkan dia menganggap aku lelaki pengecut yang mengakhiri hubungan kami begitu saja.
{Ini yang terbaik. Sebaiknya kamu mencoba untuk memperbaiki hubunganmu dengan Leo. Aku pun akan mencoba memperbaiki semua walaupun setelah aku dan Jingga berpisah.}
Hanya itu yang aku kirim sebagai balasan dan setelah itu ponselku berdering. Tentu saja dari Lidya.
Aku tidak mengangkatnya, tetapi kemudian Lidya mengirimkan email kembali memohon untuk aku mengangkat panggilan darinya.
Setelah beberapa kali, aku tidak tega dan akhirnya mengangkat panggilannya. Mungkin memang seharusnya aku mengakhirinya dengan cara yang baik. Berbicara dan membuatnya mengerti.