Tidak terasa satu bulan berlalu. Aku sudah mempersiapkan diriku dengan apa pun yang terjadi nanti. Dewa pun akhirnya setuju untuk melepaskan ku setelah usahanya untuk membujukku selalu aku mentahkan.
“Bagiku, kebahagiaanmu lah yang terpenting. Kalau kamu bahagia dengan berpisah dariku, maka aku akan memberikan kebahagiaan itu untukmu.”
Itu adalah apa yang Dewa katakan semalam ketika ia akan pulang setelah bermain dengan anak-anak.
Aku tetap menjaga hubungan baik dengannya, tetapi ada batasan yang tidak bisa lagi ia lewati meskipun kami belum bercerai. Semua aku lakukan demi anak-anakku yang berhak untuk tetap memiliki orang tua yang rukun, meskipun sebagai pasangan, kami tidak dapat lagi bersama.
Mungkin, karena aku juga telah begitu lama mengenal Dewa, tidak sulit bagiku untuk tetap berteman dengannya. Kami sudah saling mengenal dengan baik dan tidak ada rasa canggung di antara kami.
Kami tiba bersamaan di gedung pengadilan. Dewa tampak memakai jas berwarna hitam dengan kerah kemeja yang ia biarkan terbuka satu. Dulu, aku selalu bilang kalau ia tampak sangat tampan setiap kali berpakaian seperti itu.
“Jadi, ini adalah akhir yang kamu inginkan?” tanya Dewa kepadaku dengan tatapan penuh harap kalau masih ada sedikit celah untuknya membuatku mengubah pendirianku.
Aku mengangguk. “Dari awal, memang ini yang aku inginkan.”
Dewa menghela napas panjang. Tampak kecewa, tetapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Kami memasuki ruang sidang bersama untuk mendengar hasil putusan setelah mediasi di antara kamj tidak membuahkan hasil untuk rujuk.
Tidak ada keraguan sama sekali ketika sang hakim membacakan semua tuntutan dan kesepakatan yang telah kami setujui bersama.
Aku bisa merasakan kalau beberapa kali Dewa menoleh ke arahku. Mungkin ia berharap kalau aku akan terlihat sedih.
Aku memang sedih. Bagaimana tidak? Tiga puluh tahun aku mengenalnya, dan lima belas tahun kami menikah, semua itu dihancurkan oleh pengkhianatannya dengan seorang wanita bersuami. Wanita yang bahkan sampai akhir tidak mampu untuk melepaskan keluarganya, tetapi tetap ingin menghancurkan keluargaku.
Tidak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan. Itu adalah prinsipku sejak awal. Apa pun alasannya, mengapa harus berselingkuh?
Jika memang tidak bahagia, jujurlah dan lepaskan pasanganmu. Bukan mencari kesenangan di luar, tetapi tetap ingin istrinya mendampinginya. Manusia serakah!
Aku menarik napas panjang ketika palu itu akhirnya diketuk dan aku resmi bercerai dari Dewa.
Ada perasaan lega di dalam dadaku yang selama ini merasakan beban yang menghimpit.
Aku berdiri dan menghampiri Dewa yang terlihat hanya terdiam. Aku tahu kalau sebenarnya dia tidak menginginkan perceraian ini dan bersedia melakukannya untuk membuat aku bahagia.
“Terima kasih untuk semuanya.” Aku mengulurkan tanganku.
Dewa hanya memandangi tanganku yang menggantung. Ia pun berdiri dan tiba-tiba saja memelukku.