Retak Seribu

Endang Hadiyanti
Chapter #2

What a Day #Bab 1

Aku tak menyangka akan datang hari di mana aku berdandan dan mengenakan pakaian Melayu yang indah dengan jilbab panjang menutupi rambut. Pakaian sarimbit ini disiapkan oleh keluarga Jaka sebelum kami bertolak dari Pekanbaru ke Padang dengan membawa serta sejumlah hantaran.

Kusingkap tirai pintu kamar dan melihat Jaka sedang berada di ruang tamu, bersama kedua belah pihak keluarga kami dan sejumlah tamu undangan yang tinggal di sekitar rumah mbah putriku. Mama dan papa tinggal agak jauh dari rumah mbah, dan dengan pertimbangan ukuran rumah mbah yang lebih luas, maka acara tunangan dilaksanakan di sini.

Baru sebulan berlalu dari hari di mana Jaka memberanikan diri menghadap pakdeku selaku perwakilan keluarga selama aku tinggal di Pekanbaru. Ia akhirnya meminta izin menikah denganku-berbekal sebuah kartu pers dari tempatnya bekerja sebagai wartawan lepas-meski masih berstatus mahasiswa, usai tiga tahun lebih menjalin kedekatan denganku. Bukan tanpa alasan, aku sudah sulit mengelak dari keluarga besar yang ingin menjodohkanku dengan pilihan mereka. Mungkin karena statusku yang sudah wisuda dan saat ini sedang bekerja di Pekanbaru, para saudara mama itu merasa perlu untuk mencarikanku suami. Beruntung, meski pada akhirnya aku mengajukan pilihan sendiri, tidak ada keluarga yang keberatan. Peran Jaka dalam membantuku menyelesaikan perselisihan lahan sawit fiktif dengan Romi memang tidak bisa dianggap enteng. Bisa jadi hal tersebut yang membuatnya mudah diterima di keluarga ini.

Acara tunangan ini juga diselenggarakan mengikuti saran pakde yang tidak ingin pernikahan kami terkesan mendadak. Oktober menjadi bulan yang terpilih, agar di bulan berikutnya … kami bisa melangsungkan pernikahan.

“Airin, silakan keluar …,” panggil pembawa acara.

Aku keluar dari kamar dengan gerakan selembut dan seperlahan mungkin, walau sungguh … itu sangat menyulitkanku yang biasanya bergerak asal-asalan dan cenderung gesit.

“Sini!” Seorang wanita paruh baya memposisikan dudukku berhadapan dengan papanya Jaka, sementara lelaki pujaan hatiku berada di sebelah, berhadapan dengan papaku.

Dalam waktu nyaris bersamaan, jemari kami berdua dipasangkan cincin emas-yang nantinya akan kugunakan juga saat menikah-oleh papa-papa kami. Riuh rendah suara tamu di sela-sela ucapan “Alhamdulilah” membuat hatiku bergetar. Benarkah pada akhirnya aku akan bisa hidup dengannya, tak lama lagi?

***

Derai hujan di luar rumah membuatku tertarik untuk duduk di kursi paling dekat jendela dan berpuas diri membuang pandangan ke luar. Sudah seminggu berlalu dari hari aku dipingit di Padang, dan masih ada waktu seminggu lagi untuk kuhabiskan di rumah mbah ini. Meski terlahir dan besar di Padang, aku tetap saja mengikuti semua permintaan keluarga besarku yang masih memegang erat budaya Jawa. Sekalipun terasa membosankan, tetapi berulang kali kuingatkan diri ini untuk bersabar. Bukankah aku sendiri yang menginginkan hal ini?

Lihat selengkapnya