Sebenarnya aku punya bos yang cukup baik hati memberikan libur hampir sebulan lamanya, terhitung dari masa pingitan hingga seminggu usai pernikahan. Belum lagi beliau juga memberikan hadiah pernikahan berupa desain dan cetak undangan gratis di percetakannya-yang juga berada di bawah tanggung jawabku. Tapi, dasarnya aku yang sudah tidak tertarik untuk bekerja kembali dengan beliau, berbagai alasan pun kusiapkan agar tidak perlu masuk kantor sesampainya di Pekanbaru.
Bukan tanpa alasan, ada beberapa kekecewaan yang harus kuhadapi dan rasanya itu sudah cukup, aku ingin fokus kembali pada rencana semulaku. Di awal bekerja dengan Bu Wanda, aku diiming-imingi pinjaman uang pangkal untuk melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana sebesar 18 juta rupiah. Hal itu yang membuatku tidak keberatan digaji dua juta rupiah untuk mengurusi sejumlah usaha beliau, bukan hanya fokus pada satu bidang pekerjaan saja. Aku membuat pembukuan dan terlibat dalam pemasangan payet pada pakaian yang sudah selesai dijahit di butiknya, memantau dan memeriksa pembukuan yang telah dilakukan oleh pegawai percetakannya di lokasi yang berbeda, melakukan audit di bawah tanggungjawabnya di sebuah STIKES (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan) yang di dalamnya ada dugaan kecurangan, lalu membuat laporan berkala pemutusan dan penyambungan listrik di kantor cabang PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang bekerjasama dengan perusahaannya, bahkan diminta mewakilinya untuk datang pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sebuah bank selaku pemegang saham.
Sayang sekali, beliau kemudian menunda-nunda pinjaman tersebut dengan alasan ingin ikut mendaftar kuliah juga, jadi perlu waktu untuk mempersiapkan diri. Okelah jika ditundanya hanya hitungan bulan, ini … sudah hampir setahun! Sementara aku membutuhkan pendidikan tersebut demi menunjang kelangsungan karirku sebagai dosen di sebuah STIE (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi). Sejak wisuda di bulan Agustus 2010, aku memang langsung bekerja secara aktif selaku dosen di sekolah tinggi tersebut, dengan jadwal mengajar malam hari. Dan aktivitas tersebut tidak berhenti sekalipun aku bekerja setiap hari pada siang hingga sore harinya.
Tok, tok, tok. “Ai!” Suara seseorang yang sangat kukenal, memanggil dari luar rumah.
Aku masih malas bergerak dari tempat tidur, entah kenapa rasanya badanku sudah menempel kuat pada kasur yang empuk ini.
Tok, tok, tok. “Ai … di dalam?” Kali ini suaranya berpindah ke jendela kamarku. Beruntung tirainya masih kututup walau tadi sudah sempat bangun sebentar untuk mengantar Bang Jaka berangkat kerja. Suamiku itu sudah tidak lagi bekerja sebagai wartawan, ia baru saja menerima tawaran mengajar di sebuah SD Negeri selaku guru honor. Walaupun butuh waktu lebih dari setengah jam menuju ke sekolah tersebut, aku tetap mendukungnya untuk mengajar agar bisa teringat selalu dengan penyelesaian skripsinya.
Rumah sewaku ini memang berada tak jauh dari butik dan rumah bosku. Sekiranya yang datang Bu Wanda, mungkin aku masih sungkan menolaknya, dan pasti akan membukakan pintu. Tapi, yang datang saat ini adalah opa-ayahnya Bu Wanda-yang sebenarnya sering singgah juga untuk mencari kucing anggora-nya yang sering main ke rumahku.
“Ai masih sakit, Opa. Blacky juga enggak ada di sini, kok,” jawabku dengan tenaga yang susah payah kukumpulkan. Entah kenapa, belakangan ini rasanya badanku lemas sekali.
“Opa bukan cari Blacky. Kamu dicari Bu Wanda, pengunduran diri kamu yang kemarin dititip ke Opa itu ditolak sama Ibu,” balasnya setengah berteriak.
Ah, paling juga ditolak karena ini sudah mau akhir bulan Desember. Beliau butuh seseorang untuk memastikan pembukuan tahunan semua usahanya memang sudah benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Belum tentu setelah itu aku masih dibutuhkan di sana.