Aku butuh waktu cukup lama untuk menyembuhkan diri dari kekecewaan yang luar biasa usai diminta mengundurkan diri dari TA. Belum lagi … ternyata yang menggantikan posisiku adalah Mita. Entah kenapa, rasanya jadi berat sekali melangkahkan kaki untuk pergi ke kampus, apalagi mendaftar pascasarjana. Lebih baik aku fokus pada janin di dalam kandunganku saja.
“Jadi ke mal lagi malam ini, Mbak?” tanya adikku, Ridwan, yang sudah hampir sebulan ini menemaniku di rumah. Demi menghindari sejumlah perasaan kesal dan tidak nyaman dengan Bang Jaka, aku memanggil salah satu adikku yang memang sedang merantau juga di Pekanbaru ini untuk tinggal di rumah kami. Tentu saja aku memanggilnya tanpa mengungkap tujuan tersebut, melainkan dengan dalih untuk berjaga-jaga, mana tau aku akan melahirkan di saat Bang Jaka sedang tidak di rumah.
“Boleh.” Aku menghentikan kegiatan jalan santai di depan rumah yang baru kulakukan setelah azan Isya tadi. Meski sehabis Subuh juga sudah kulakukan kegiatan tersebut, namun rasanya masih ingin berjalan di sore dan malam hari. Beruntung mal di dekat rumah kami sedang ada promo besar-besaran selama tiga hari menjelang lebaran ini, mereka tutup lebih lama … jam 12 malam. Ini hari terakhir promonya, aku juga sudah menandai beberapa barang yang pada akhirnya akan kubeli jika beruntung masih melihatnya malam ini.
***
Dar!!! Aku terbangun mendengar suara petir yang cukup keras. Kulihat ke kiri dan ke kanan, Bang Jaka sedang terlelap, sementara telingaku tak menangkap sedikit pun suara hujan. Apa aku salah dengar?
“Bang, tolong temani ke belakang.” Aku menyentuh perlahan pundak lelaki yang sedang tidur nyenyak di sebelahku itu. Beruntung dia merespon. Walau dengan mata yang setengah tertutup dan jalan pun harus menempel ke dinding, ia tetap menemaniku ke toilet yang terletak di bagian paling belakang rumah ini. Jika tidak, mungkin aku terpaksa harus membangunkan Ridwan karena tiba-tiba saja malam ini merasa takut sendirian.
Kusempatkan melirik jam dinding yang menunjukkan angka 12 lewat 10. Itu artinya baru satu jam aku tertidur malam ini, sepulang dari mal jam 11 tadi. Aku memang sengaja menggerakkan badanku cukup banyak demi mengupayakan proses kelahiran normal walau saat ini sudah terlambat empat hari dari HPL (Hari Perkiraan Lahir). Kata bidan, “Batas toleransi dari HPL itu adalah plus minus dua minggu.” Namun, aku tentu berjaga-jaga juga dengan tetap berkonsultasi ke dokter dan mengecek kandungan melalui USG untuk memastikan ketersediaan air ketuban dan kondisi ari-ari.
“Bang, sepertinya kita harus ke bidan,” ucapku saat keluar dari toilet. Kudapati sebercak darah di pakaian dalamku yang bisa saja menandai proses yang kunanti-nanti beberapa hari belakangan, sudah akan dimulai.
“Apa, Mbak? Sudah mau ke bidan?” Ridwan yang kamarnya paling dekat dengan toilet ternyata tidur dengan kondisi siaga hingga bisa mendengar kalimat yang kutujukan pada suamiku itu.
“Tolong bawa ransel yang sudah disiapkan Mbakmu itu, ya.” Bang Jaka mulai membuka lebar matanya dan menunjuk ke ruang tamu. Sudah dari dua minggu yang lalu perlengkapan gantiku dan persiapan baju bayi newborn kusiapkan di sana. Baguslah, tadinya kupikir dia akan membiarkanku diantar Ridwan, ternyata tidak … dia memboncengku dan meminta Ridwan mengiringi kami sembari memperhatikanku dari belakang.