BUNGA yang hanya tumbuh di gunung itu disebut-sebut sebagai simbol persahabatan. Shazia pernah mendengarnya, dan pernah menemukan gantungan kunci berisi bunga edelweis dengan kata-kata berisi tentang persahabatan di baliknya. Hiruk pikuk bandara seakan-akan menyemarakkan isi kepalanya tentang bunga gunung tersebut ketika disadarinya ada misscall dari Khadijah. Ia berusaha menerobos kepadatan pengunjung bandara selepas berpisah dengan sang peretas. Namun setelah bebas dari keramaian manusia berbagai daerah bahkan negara, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan panggilan masuk saat di rumah saja.
Termenung dalam perjalanan di dalam kendaraan umum, benaknya berpilin pada apa-apa saja yang membuatnya mengesampingkan Khadijah. Bukan hanya karena ketakutan berharap pada seorang teman sehingga hanya memusatkan diri pada Iqlima, namun ada dua hal lain yang menyebabkan Shazia memusatkan diri pada Iqlima. Ada rasa tidak enak karena kerap curhat namun hampir tidak pernah mendengar kesah Khadijah, poin lain adalah adanya teman lain bernama Nungky yang dekat dengan Khadijah yang bisa dirasakan dari bahasa tubuh dan tatapan bahwa Shazia tidak disukai. Oleh karena selalu sebangku dengan Iqlima, dipikirnya sang teman sebangku lah sang sahabat sejati. Namun selama tiga tahun justru ia telah salah besar, selain memang 'tidak dimengertinya bagaimana berteman.
Beruntung, Nungky menikah lebih dulu, Khadijah menjadi seorang diri. Shazia yang sedang patah hati dengan Iqlima, mencoba untuk menaruh kepercayaan kepada Khadijah lebih lagi dibanding sebelumnya. Namun kemudian, sang edelweis yang merupakan di bawah naungan yang sama dengan Shazia bermentorkan Tiara sampai sempat diajak mengajar di rumah singgah, harus berhenti mengajar pada beberapa bulan menuju pernikahan. Khadijah harus mengikuti suaminya ke Bandung. Bunga pernikahan edelweis dari Khadijah menjadikan Shazia agaknya merasa lebih berarti sebagai kawan.
"Shai, aku lagi di Jakarta. Ketemuan yuk!"
Semringah raut wajahnya membaca pesan itu, terkenang olehnya perasaan takut dan gugup ketika mendengar Khadijah akan menikah dan mengira tidak akan ada teman dekat lagi.
Teringat ibu pernah bercerita bahwa Khadijah menitikkan air mata saat menengok Shazia diopname berkursi roda karena hipokalemia, Shazia justru meragukan diri apakah pantas menerima perhatian seperti itu setelah sejak kecil menjadi 'tak terlihat'. Namun bicara merasa tidak pantas, ia justru mengharapkan kedatangan Iqlima datang menengoknya yang pada kenyataannya 'berkata' sebaliknya.
Bukan berarti tidak senang ditengok selain Iqlima, hanya tidak menyangka saja bila perasaannya sebagai sahabat bertepuk sebelah tangan. Dan ia, getir menertawakan diri sebagai si spons kuning yang kehilangan si bintang laut merah muda yang direbut si gurita berkaki enam. Selekas mengembuskan napas untuk menghalau perumpamaan dari kartun tersebut, kembali mamatutkan diri pada ponsel.
Jin... apa dia bisa benar kujadikan teman? Ya meski aku tau aku udah bukan lagi anak-anak--sudah melewati seperempat abad yang seharusnya memikirkan menikah, bukan lagi memikirkan bagaimana memiliki teman!
Batin Shazia berkata-kata tatkala jendela percakapan dengan Khadijah memenuhi layar. Mengingat lelaki itu yang makin dirasakannya kian menunjukkan ketulusan. Namun tidak bisa ditampiknya dongkol karena lelaki itu tidak berterus terang siapa dirinya selain menawarkan ajaran hacking.
>>>
Di sebuah Universitas tempat Khadijah kuliah, namun lebih tepatnya di dekat kuburan yang sewilayah dengan kampus. Nasi goreng diselimuti telur dadar selalu menjadi pilihan Shazia saat makan di warung dekat kuburan tersebut. Siang terik tidak mengesankan angker pada hamparan kuburan selain dijadikan muhasabah, begitu penuturan Khadijah--yang memang dengan khas yang tenang serta religius.
"Masih ada yang belum kelar, Shai," kata Khadijah saat Shazia bertanya ada apa ke Jakarta bersama suami dari Bandung. "Gimana kabar orang-orang rumah? Ridho jadi di pesantren?"
Shazia tersenyum masam, teringat laporan Rudiyanto yang mengabarkan Ridho dibawa kekasih Prita. "Alhamdulillah jadi," jawabnya singkat.
"Ya emang lebih baik di pesantren sih ya, jadi bisa terdidik. Jangan warnet mulu. Hehe," Khadijah mulai dengan suapan pertamanya. Ia sudah sering mendengar curahan batin Shazia.
"Tapi kita tuh kayak jodoh tau gak!" Shazia tertawa getir di dalam hati menyebut 'jodoh'--dalam artian persahabatan. "Kamu yang mau pesantren, malah adikku yang pesantren!"
"Takdir gak bisa ditebak. Trus gimana Iqlima?"
"Nikah."
"Iya? Wah Alhamdulillah. Sama siapa?"
"Gak tau."