PEMUDA itu berencana akan melakonkan diri sebagai Yudi, yang akan mengenalkan sepupu perempuannya pada Novil. Bukan, bukan dengan sepupu perempuan akan dikenalkan peretas itu pada sang korban, melainkan pada teman-teman kuliahnya nanti ketika nanti akan berjumpa untuk belajar hacking. Sungguh, begitu sangat tergambar bagaimana Yudi sang HojichaLatte menghibur Novil sang Blueberry. Begitulah bagaimana pemuda yang masih menyembunyikan tato di tubuhnya itu dari sang korban dalam menyimpulkan karya fiksi itu. Kisah fiksi itu pula yang membuatnya mengerti bahwa korbannya bukan seorang munafik--begitu motivatif pada akun HojichaLatte tetapi sangat terpuruk di akun Blueberry.
Membaca percakapan antara sang korban dengan Seruni, sebenarnya hanya jahil pemuda itu mengirim pesan untuk mengajak janji temu setelah Seruni mengindikasikan tidak jelas kapan kembali ke Jakarta. Mengira Shazia sang korban yang begitu menginginkan bertemu untuk mengganti uang--selain ingin melihat wajah-wajah dari berbagai penjuru daerah bahkan negara, lelaki bernama samaran Rudiyanto itu menawarkan diri menggantikan Seruni di bandara. Namun sampai beberapa hari berlalu sejak bertemu di bandara, belum diterimanya nomor rekening yang dinanti dari sang korban--sungguh ia lupa bahwa tidak perlu meminta karena seharusnya bisa melihat sendiri ke ruang percakapan sang korban peretasan dengan sang mantan badgirl.
Berada di sebuah kafe tempatnya bekerja paruh waktu, ia tidak mampu menahan senyum, teringat betapa gadis berparas jutek yang diyakininya kejutekannya sebagai tameng itu masih mewaspadainya--padahal bukankah alat setrum sudah dibeli? Rudiyanto menggumam di dalam hati. Gadis yang lebih rendah dari bahunya itu ingin memastikan apakah cantik atau tidak, sungguh pertanyaan yang menggelitik.
Simpul senyum bibir tipisnya semakin melengkung seiring turut merasakan korbannya menemui teman lain yakni Khadijah. Meski tidak ada percakapan yang banyak dan panjang antara dua gadis itu selain bilang sedang di Jakarta dari Khadijah dan meminta janji temu, pemuda itu sudah sangat bersyukur bahwa dunia Shazia sang korban peretasan bukan terpaut Iqlima semata. Dan diam-diam, sang peretas penasaran dengan apa yang sedang dua gadis itu bicarakan ketika bertemu sampai sang korban peretasan mengirim gambar berupa info kajian masjid pada sang edelweis. Ia harap korban peretasannya baik-baik saja.
"Lo kenapa, Ar?" Seorang pemuda berambut pirang dengan paras kaukasoid memandangnya heran. Merupakan sahabat sekaligus putra dari pemilik kafe yang turut bekerja seraya memantau para karyawan kafe. "Njir! Lu jatuh cinta!!!"
"Lu yang anjir!!! Jangan nuduh sembarangan!" Rudiyanto yang dipanggil 'Ar' menyerang sahabatnya yang memang sejak lahir berambut pirang, beruntung kafe sedang pada jam sepi-sepinya. Para karyawan lain tidak banyak ikut campur karena memang sudah paham bila pengawas mereka bersahabat erat dengan Rudiyanto--yang tentu saja bukan sebagai Rudiyanto yang dikenal bagi mereka.
"Ya lagi ngapain senyum-senyum? Ada cewek bilang dong!"
"Mata lu buta ada cewek! Sepi begini!"
Seakan-akan semesta mengejek Rudiyanto, beberapa muda-mudi berkendaraan roda dua memasuki parkiran kafe. Si pemilik paras bule menertawakannya selebar-lebarnya sampai terkikik-kikik seperti kuda.
"Mantra lu ajib!" ejek si pirang mengacak-acak Rudiyanto yang lebih pendek darinya itu. Berusaha mengendalikan diri, bersama para pramusaji lain ia turut menyiapkan sambutan kepada para calon pembeli. Rudiyanto yang harus profesional, turut sebagaimana rekan-rekan kerja lainnya, menahan diri karena para pekerja lain diam-diam menertawakannya pula.
Selama beberapa jam ke depan para pelayan kafe hilir mudik melayani pembeli. Buku menu disediakan. Berbagai makanan dan minuman kekinian dijajakan. Tiap ada yang masuk ke kafe, tiap itu pula sambutan ucapan selamat datang dihaturkan secara serempak dari seluruh pelayan. Bagi pembeli yang ingin solat diarahkan ke mushola kafe. Pun sang Rudiyanto dan beberapa karyawan yang bergantian solat.
Pria dengan rambut blonde yang kian memudar itu lalu meminta izin pada sahabat pirangnya--yang sudah alami dari orang tua yang memang campuran dua bangsa--karena kerja paruh waktunya telah habis, ia pun disemangati karena akan ada proyek lagi yang harus digarap dari klien sebagai pekerja lepas. Ada rasa bebas dari dalam diri begitu keluar dari kafe, karena sejak para pembeli masuk, ada saja di antara mereka yang perempuan mencuri pandang pada parasnya.
Akan tetapi kembali lagi, disingkirkannya ketidaknyamanan terhadap lirikan nakal pembeli perempuan, pemuda itu seakan-akan turut berseri-seri mengingat sang korban yang saat patah hati oleh Iqlima menerima hiburan dari Marsha si bambu manis, dan sekarang menanti jawaban Seruni untuk kajian di masjid bertiga dengan Khadijah sang edelweis. Rudiyanto membaca percakapan mereka itu.