ENTAH apa yang melintas di benak gadis itu. Rudiyanto yang merasa mendung justru menerima foto bukti transfer Seruni perihal pembayaran layanan konseling, sesaat kemudian seolah-olah ada yang menepuk kepalanya, baru ingat bahwa memang tidak semestinya menanti bukti transfer itu sebab kuasa privasi sang korban peretasan masih dipegangnya. Terpikir akan berlelucon membahas betapa bodohnya ia karena menanti, belum pula sang korban yang seharusnya memarahi jenaka namun ia khawatir justru akan dimarahi sungguhan jika diamati tiada korbannya membalas pesan Khadijah.
Sebuah nama di salah satu kontak pada aplikasi perpesanan dikunjungi, pemuda itu merasa tidak mungkin menggunakan rekeningnya karena berisiko namanya akan diketahui. Setelah saling bertukar pesan dengan si sahabat yang tak lain adalah si pirang, transaksi ke nomor rekening Seruni dilakukan oleh sahabatnya tersebut yang tak lama kemudian mengirim bukti transfer. Ia lantas meneruskan gambar bukti transfer itu pada sang korban peretasan.
Sempat melamun menerka bagaimana perasaan gadis itu yang belum juga mengirim balasan pada Khadijah, sosok yang dilamunkan tak lama mengirim pesan terima kasih. Tidak hanya itu, sang korban peretasan juga meminta janji temu untuk belajar hacking. Merasa memang bukan waktu yang tepat untuk tertawa membahas kelupaannya yang tidak seharusnya meminta nomor rekening Seruni, dan dengan bersikap seakan-akan tidak tahu bagaimana percakapan antara Shazia dan Khadijah, pemuda itu tidak berpikir dua kali untuk menerima, diyakininya gadis itu tengah mencari penawar rasa kecewa.
Dan hari yang dijanjikan itu tiba, di halte MRT mereka bersepakat bertemu. Dengan takut-takut mendekat, tebersit sebuah lelucon yang diharapkan bisa diterima gadis itu. "Bawa KTP gak? Kita gak butuh NPWP dan SIM loh!"
Gadis itu melengos, menyadari peretasnya meledek tidak bawa KTP ke psikolog saat melalui resepsionis. "Bawa! Ohya, nih bayar utang!" Rupanya sejak tadi ia menggenggam dua lembar uang.
Ragu-ragu Rudiyanto menerima dua lembar uang telanjang dengan rupa heran. "Cepet banget gantinya! Kebelet banget sih? Kan kalau kamu masih butuh buat keperluan lain mah jangan dulu lah..."
"Aku tidak mau terngiang-ngiang punya utang!"
"Sungguh warga negara yang baik!"
"Emangnya aku lagi bayar utang negara?!"
"Ahahaha! Syukurlah kamu masih bisa bercanda meski juteknya gak ngilang! Haha!"
Shazia tidak menanggapi, kendaraan MRT yang akan dinaiki sudah tiba. Ia menunggu sang peretas melangkah lebih dulu karena sang peretas yang tahu dimana lokasi yang dituju. Melalui percakapan di aplikasi perpesanan, Shazia meminta belajar di kampus sang peretas.
Sebuah halte bus yang terintegrasi dengan halte MRT menjadi tempat transit sejenak. Bus yang sebentar dalam penantian pun dinaiki sampai mereka turun, dan memutuskan untuk menaiki ojol motor masing-masing sesuai pinta Shazia demi keamanan.
"SAP?!" Berbinar air muka gadis itu begitu sampai di tujuan, menyebut tiga huruf dengan pelafalan bahasa Inggris.
"Heeee??? Kamu tau?" Rudiyanto tentu saja terkejut, sebab belum masuk kampus serta tidak tampak pula nama kampus dari luar.
"Sekolah Animasi Pertiwi!" Raut wajah si korban peretasan begitu ceria manakala memperjelas tiga huruf dari SAP. "Aku pernah ke sini! Ada seminar animasi waktu itu... Tapi..."
"Tapi...???"
Tiga wanita muda baru saja keluar dari wilayah tempat Rudiyanto pernah belajar. Binar wajah Shazia memudar meski tidak begitu terlihat muram. "Tapi ternyata itu promosi terselubung. Aku tidak mampu ikut sekolah animasi di sini... Biayanya..."
"Ah iya, memang mahal...," Rudiyanto merasa bisa menangkap kesan cemburu dari wajah korbannya itu pada tiga wanita yang baru saja melintas.
"Ehm toilet dimana ya?"
"Oh, ikuti aku."