"SEMENDADAK ini?!!!"
"Masih di Jakarta, kan? Aku menunggu. Ini perintah pertama!" Shazia menekankan nadanya menjadi sebuah perintah meski terdengar datar.
"Baik. Meluncur..."
Percakapan ditutup. Ponsel disimpannya di saku gamis. Masker kain yang mengalungi lehernya dengan connector, ditariknya menutupi mulut supaya tidak ada yang mengenal dan menyapanya. Ia tidak sedang di sekitaran rumah, melainkan sedang keluar dari rumah sepupu setelah solat magrib. Tidak berbohong ketika katakan ingin mengisi saldo aplikasi ojol di minimarket, tapi tidak perlu sebut ada rencana lain setelah dari minimarket.
Selain ingin menguji kepatuhan sang peretas sebagai 'Jin pengabul permohonan', entahlah ada sesuatu yang tidak nyaman dari dirinya hingga tebersit ingin menjahili peretasnya, belum lagi telah dilihat oleh pemuda itu kaki korbannya yang mengerikan. Shazia pikir akan menjadi hal baik bila ia dianggap menjijikan dan akan dijauhi. Dan satu hal lagi, manakala benar pria itu akan datang, akan dipastikannya pula apakah benar bernama asli Khalid Muzaffar.
Duduk di bangku dekat minimarket, gadis itu menjemba ponsel. Membuka aplikasi media sosial berbagi foto demi mengusir bosan. Berkali-kali melihat angka waktu di sudut kiri atas ponsel, sebuah postingan berupa bisnis kuliner milik seseorang yang pernah satu kelas di masa SMA membuatnya tercenung. Berangsur-angsur dirinya yang tercenung memasuki kekosongan dalam benak, hingga entah sudah berapa menit berlalu oleh buaian saputan angin malam yang membelai.
"Ukhti!" Sebuah suara merebut atensinya.
Shazia mengangkat wajah, meraih kesadaran yang hampir merangkak menuju kantuk. Seorang lelaki bermasker sleyer khas anak motor, akan menampakkan parasnya.
"Ada apa sih manggil aku malam begini?!" Keluhan pemuda ini membuat Shazia terpaku diam dalam takjub, tak menyangka benar perintahnya dipenuhi. "Hei?!"
Shazia selekasnya memalingkan pandangan dari Rudiyanto yang menelengkan wajah ingin menyadarkannya. "Anu... Aku pengen ngetes kamu aja bener apa nggak kamu ini Jin aku..."
Rudiyanto tergelak ringan. "Aku tidak akan ingkar selagi aku tidak disuruh berbuat kriminal, wahai ukhti!"
Shazia merasa tidak nyaman disebut 'ukhti' bilamana sebutan itu karena pakaiannya yang syar'i, namun hal itu malas diungkapkannya. Benaknya masih berpusat pada pembaruan dari media sosial seseorang yang pernah sekelas dengannya tadi. "Yaudah Khalid, temenin aku ke sini!"
"Apa? Khalid?" Rudiyanto menolak menatap layar ponsel Shazia.
"Iya, bukti transfer kamu ke Seruni atas nama Khalid Muzaffar. Itu nama asli kamu kan?"
Rudiyanto kembali tergelak, kali ini menjadikan keseimbangan tubuhnya oleng hingga hampir membuat motornya oleng pula. Ia lantas berusaha bersikap tidak menarik perhatian orang-orang yang keluar masuk minimarket. "Hei, Khalid Muzaffar bukan namaku. Itu temenku. Memang sengaja aku minta tolong dia biar namaku tidak ketauan," Rudiyanto tersenyum penuh kemenangan atas korbannya. "Ya sudah, sekarang aku sudah di sini, kamu mau aku bawa kamu kemana?"
Shazia diam sebentar, merasa jengkel karena tebakannya meleset, namun juga bersamaan diliputi takjub ke sekian kali karena Rudiyanto menawarkan diri untuk mengantar--padahal ia mengira mungkin akan diabaikan karena kaki yang membuat siapa pun akan merasa ngeri dipandang dan tidak ingin mendekat. "Mana helm? Ikuti arahanku!"
Rudiyanto agak grogi akan 'menaati perintah', sebab tiap melakukan jumpa dengan sang korban peretasan, selalu gadis itu menunjukkan gestur supaya berjaga jarak. Terlintas mungkinkah malam ini ia akan menerima pembalasan berupa setruman dari sang korban, namun ia hanya pasrah saja saat menawarkan supaya Shazia duduk di belakang sebagai boncengannya. Untung saja dalam perjalanan Shazia memainkan ponsel--mencari titik bisnis kuliner yang dilihatnya tadi. Gadis itu mengulangi apa kata suara aplikasi peta ke Rudiyanto untuk melakukan arah kemudi.
Menepi di seberang sebuah yayasan panti asuhan, mereka berhenti. Beberapa gerobak berbagai jajanan malam menjajakan dagangan mereka pada para pengguna jalanan. Rudiyanto memandang Shazia yang sudah turun lebih dulu, helm yang sudah dipinjamkannya diterimanya kembali.
"Aku mau beli itu! Kamu mau rasa apa? Aku bayarin!" tegas korbannya menunjuk sebuah gerobak yang sedang penuh antrean para calon pembeli.
"Apaan itu?"