MEMAHAMI dan memaklumi, ibu bersedia merahasiakan kondisi gadis sulungnya untuk jalani konseling yang berkemungkinan dilakukan secara berkala. Sudah dipaparkan oleh Shazia sebagaimana apa yang sudah pernah ia paparkan saat minta bantuan kirimkan KTP tentang apa yang membuatnya memutuskan menemui pakar profesional kejiwaan. Begitu tampak wajah sendu penuh menyiratkan ketidaksangkaan atas Iqlima yang sering dikunjungi sulungnya untuk belajar bareng ternyata rasa persahabatan itu bertepuk sebelah tangan. Namun ketidakmenyangkaan lain dari ibu bahwa rupanya selama ini sejak masa putih merah, ada luka tak terlihat yang dibawa tanpa sulungnya sadari.
Shazia lalu menjelaskan apa yang menjadi tugasnya dari psikolog demi menelusuri apa yang sedang terjadi pada dirinya sebagai klien, yang bisa saja suatu upaya dilakukan terhadapnya untuk pencegahan gangguan kesehatan jiwa lebih lanjut akan terjadi. Tinggal pewarnaan pada sebuah kertas berukuran A3 dengan terhampar sungai kehidupan yang pada sisi atas adalah hal baik yang diingat dan sisi bawah adalah sisi buruk yang diingat. Dikatakan pula bahwa Khadijah mengetahui dirinya menjadi klien dari seorang psikolog, pun Seruni yang dikenali di dunia maya, namun tentu perkara Rudiyanto masih menjadi hal yang disembunyikannya rapat-rapat meski Shazia tidak bisa memastikan baik jahatnya pria itu--kendati hal baik yang banyak diterimanya.
Lima hari diopname, Shazia akhirnya melihat seorang pria yang diciri-cirikan oleh Rudiyanto sebagai Khalid Muzaffar. Dan begitu jelas sekali tatkala pria yang memang berambut pirang dan berparas bule itu tengah berjalan bersisian dengan pemuda yang merupakan Rudiyanto yang rambutnya kian menghitam, seperti akan keluar dari rumah sakit, bersamaan dengan Shazia yang juga telah diizinkan dokter untuk keluar. Hal itu menjadi topik saat lakukan janji temu sepulang gadis itu dari rumah singgah di hari esok jadwal ia sudah kembali masuk.
"Kenapa gak panggil aku?"
"Aku kan sama orang tua aku. Aku musti jawab apa kalau mereka nanya kamu siapanya aku? Mana gak tau pula aku nama kamu!"
"Ehehe, iya juga ya. Tapi... Orang tua kamu tipe protektif gitu gak kalau main sama lawan jenis?"
"Hm, disebut protektif tapi aku ada temen cowok. Ayah ibu untungnya gak ribet untuk percaya kalau aku hanya temenan sama si cowok ini."
"Berarti kamu punya teman dong selain Iqlima, Khadijah dan Marsha di masa sekolah?"
"Ya, temen numpang butuh bantuan doang sih iya."
"Meski cowok?"
"Iya."
Rudiyanto manggut-manggut, merasa pantas saja gadis ini kelihatan berangsur-angsur seakan biasa saja tiap bertemu dengannya meski tetap tentu saja dengan menjaga jarak sebagai lawan jenis--padahal dirinya sebelumnya sempat kikuk karena menemui gadis dengan pakaian syar'i. "Emangnya dia butuh bantuan apa ke kamu? Yakin gak ada maksud terselubung?"
"Maksud terselubung apa?"
"Modus biar bisa deket karena naksir...???"
"Apa yang mau dideketin dari aku? Kamu aja waktu itu aku nanya aku cantik apa nggak, kamu nggak jawab!"
"Yaelah, naksir gak harus karena cantik aja kali! Coba, emangnya dia minta bantuan apa ke kamu?"
"Dia minta dicarikan pacar..."
"What? Gak salah orang apa? Hahaha!"
"Nah kan? Aneh kan?"
"Banget! Haha! Dah jelas modus itu mah! Asli pengen incar kamu! Ahaha!"
"Apaan sih..."
"Nah kamu mau jadi Mak comblang? Kukira kamu nggak menganut pacaran sebelum menikah..."
"Itulah kok gak peka, ngapain pula minta tolong aku! Tapi aku ada sih mikir kalau aku cantikkan dikit, pasti aku punya teman cantik juga, dan mungkin aku bisa nawarin temenku yang cantik ke dia. Lah ini minta tolong ke muka planga-plongo kayak gini!"
"Nolak pacaran tapi iya aja buat nyomblangin, gitu?"
"Nggg... nggak gitu juga sih, cuma pikiran doang..."
Rudiyanto menguntai lengkungan di sepasang bibirnya, sembari melepaskan jaket ojol yang dikenakannya. Tidak bisa disebut janji temu pada kali ini, setelah sebelumnya menelpon Shazia bahwa ia sedang dalam perjalanan menemui karena suatu hal. Korbannya yang saat itu hampir pulang bersama rekan-rekan pengajar dari rumah singgah, lantas menyanggupi jumpa di sebuah warteg dekat rumah singgah. Lagi, hanya si pemuda yang memesan makanan.
"Ini... pakaian kamu yang sekarang... apa kamu pengemudi ojol?" Pandangan Shazia bak metal detector dari atas sampai bawah menatapi Rudiyanto.
"Punya temanku. Dan ini membuatku jadi punya ide untuk selalu mengantarmu ke psikolog!"
"Menyamar?"