MEMANG terlintas lebih baik membebankan sang peretas yang pernah mengatakan akan memenuhi permintaan apa pun, daripada menumpang dikirimi biaya konseling melalui rekening Seruni. Akan tetapi, bukan bagian karakternya untuk selalu meminjam uang terlebih dalam jumlah besar—meski tidak tahu apakah dipandang besar juga oleh sang peretas yang tidak diketahuinya orang berada apa bukan--bahkan meski orang berada pun ditakutkannya bukan makin pulih justru jadi terngiang-ngiang karena konseling dengan cara meminjam uang. Ketika sesuai dugaan akan ditanyai kapan lagi menemui psikolog, teringat saran Seruni lakukan transaksi melalui aplikasi ojol. Setelah melalui aplikasi perpesanan menghubungi pihak layanan psikologi, mereka bersedia menerima pilihan pembayaran tersebut. Sayangnya saat menyerahkan identitas ke aplikasi ojol, foto dirinya yang memegang KTP tidak mirip dengan foto KTP yang sudah dikirimkan. Hal itu diketahui setelah dua puluh empat jam menunggu, dan penolakan diterima. Sudah dijelaskan rangkaian upayanya itu pada sang peretas, kemudian meminta bantuan adakah sekiranya teman perempuan pemuda itu yang mampu merias agar wajahnya serupa dengan KTP.
Rudiyanto, di tempat yang sudah menjadi opsi rahasianya selama diblokir korban peretasan saat silam, menyatakan bersedia membantu. Terlintas Jelila, tidak disangkanya ketika menghubungi dan meminta bantuan seperti yang sudah diceritakan sang korban peretasan--tanpa bilang untuk keperluan konseling dan tentu bilang bahwa Shazia adalah saudara jauhnya--tetapi istri Khalid itu menolak dengan alasan takut berdekat-dekatan dengan seseorang yang berusaha melakukan tindakan percobaan bunuh diri—yang dalam dugaan wanita itu adalah seseorang yang tidak stabil dan bisa saja menyerangnya. Rudiyanto termenung membaca pesan itu. Ada sesal seharusnya minta izin dulu pada Khalid, namun ia sudah terlanjur menghubungi istri sahabatnya itu. Akhirnya jempolnya mengais-ngais kontak lain. Beberapa telah dihubungi, namun justru banyak penolakan dengan alasan yang beragam hingga akhirnya sebuah kontak dengan 'terpaksa' dihubungi.
Sudah ditentukan janji temu menuju tempat tindakan pemolesan wajah, bertemu di depan sebuah toko bakery tanpa Rudiyanto beri tahu lebih dulu bahwa ia ingin mentraktir Shazia sebagai wujud terima kasih karena telah menyimpan nomornya bahkan dengan nama 'Amigo'. Sempat gadis itu menolak karena tidak enak, tapi karena peretasnya menyebutkan alasannya mentraktir dan terus memohon, akhirnya mereka masuk ke toko bakery itu. Sang korban peretasan dibebaskan memilih namun dalam hati menjerit melihat tiap harga kue yang terpajang. Setelah menunjuk sebuah kue kecil berlapis dengan tiap lapisnya terdapat potongan buah dan sebuah cokelat padat kecil sedang berdiri di atas krim pada puncaknya, peretasnya memilih kue yang sama. Mereka akan makan di tempat sambil menunggu sosok yang akan merias datang.
"Kenapa senyum?" Shazia memandang peretas yang duduk di seberangnya aneh.
Bukan menjawab, Rudiyanto justru makin melebarkan lengkungan bibir seperti menahan tawa. Akhirnya ia tidak tahan menceritakan tindakan korban peretasannya yang sempat meminta izin Khadijah untuk dijadikan kelinci percobaan hacking. Tentu saja diketahuinya dari percakapan Shazia dan Khadijah melalui pantauan peretasannya, dan tidak disangka sang edelweis bersedia.
"Jadi kamu ajak makan di sini karena mau bahas itu juga?"
"Ya gak nyangka aja, kalian sungguhan ya keduanya gadis yang saling berkepercayaan!" Entah memuji atau bukan, namun setelah itu Rudiyanto tertawa kecil menundukkan wajah.
Shazia merapatkan kedua bibir sampai terlihat tipis. Tidak mengerti bagaimana menanggapi, ia mulakan saja menikmati kue di atas meja. Rasa malunya karena diketahui Rudiyanto telah meminta izin Khadijah, terpudarkan oleh perasaan yang begitu semarak setelah mencicipi kue namun berusaha tidak ditampakkan ekspresinya—khawatir akan terlihat berlebihan. Rudiyanto di depannya menyusul mencicipi miliknya sambil dengan senyum sisa tawa kecil yang belum pudar. Terdengar gumaman tanda pujian enak pada apa yang dimakannya. Tidak ada lagi percakapan karena keduanya terbuai pada kue masing-masing.
Sekali wajah Rudiyanto terangkat, mengedarkan pandangan sampai baru disadarinya tengah dibisik-bisiki beberapa pengunjung kedai. "Ada apa?" tanyanya pada Shazia yang baru disadarinya memandangnya pula.
"Aku merasa kayak lagi sama Iqlima. Dia juga sering diliatin lawan jenis. Dan selalu curhatnya tentang gangguan dari para lawan jenis."
"Oh ya? Tapi aku kan gak pernah curhat apa-apa ke kamu." Rudiyanto menaikkan sebelah alis mata dengan pandangan yang seakan merendahkan.
Shazia yang merasa tidak senang dengan pandangan itu, mendecis dan meletakkan sendoknya seperti tidak berselera menghabiskan kue.
"Eh iya maaf maaf. Hehehe..."
"Kamu minta maaf mulu!"
"Ya trus gimana dong? Masa' makasih sih? Yaudah, sekarang aku mau dengerin kamu tentang Iqlima. Tadi sampai mana? Hehehe..."
"Iya, aku kalau jalan sama dia, memang kuperhatikan selalu diperhatikan lawan jenis. Tadinya gak percaya kata dia—masa' sebegitu parahnya sih dah kayak magnet aja? Tapi saat jalan sama dia, memang dia selalu dilirik. Bahkan ada yang kirimi dia hadiah. Jadi bikin mupeng aja. Tapi pasti kan gak enak juga kalau digodain terus..."
"Sebegitu cantiknya ya?" Rudiyanto sudah tahu bagaimana rupa Iqlima dan beberapa orang sekitar Shazia dari hasil meretasnya.
"Entah. Aku suka dia dulu karena dia duluan deketin aku buat jadi teman sebangku dia..."
"Suka...???" Sebelah ujung bibir Rudiyanto terangkat.
"Ya, suka kan gak harus antar lawan jenis kan? Sesama jenis dalam konteks pertemanan sampai persahabatan bahkan sampai dianggap keluarga adalah perasaan suka yang bisa terjadi. Kamu gak mungkin aku mikir suka sesama jenis macam ke lawan jenis dong?!"