Retas

Gia Oro
Chapter #24

Saudara

TELAH diketahuinya lebih dulu, terkait seorang gadis yang akan dibawa sang sahabat untuk menumpang memoles wajah demi urusan pengajuan identitas di aplikasi ojol. Jauh sebelumnya, sudah beberapa kali tebersit ingin menanyakan perihal gadis itu, namun beberapa kali itu pula apa yang ingin ditanyakan selalu pudar—meski kerap ia bertemu sang sahabat di kafe tempat mereka bekerja. Sudah jelas siapa lagi kalau bukan Jelila sang istri yang menceritakan semua dimulai dari pertemuan pertama dengan gadis itu di tempat sang suami pernah menuntut ilmu. Diceritakan pula mengenai permintaan bantuan untuk memoles wajah, dengan tanpa keraguan ditolaknya karena takut bilamana diserang--pikirnya adalah "pada diri sendiri saja melukai maka bagaimanalah pada orang lain".

Akan tetapi, setelah mendengar langsung dari sang sahabat, pemuda berdarah kaukasoid itu berusaha memahami dan menyembunyikan dari sang istri tentang hari ini. "Apa Arnum tau?" tanyanya dengan nada datar sambil memilih salah satu patung di papan catur.

"Ya nggaklah. Gua gak yakin kalau dia bakal bereaksi sebaliknya dengan bini lu—kalau dikasih tau untuk apa ajukan identitas ke ojol..."

"Bereaksi sebaliknya?"

"Ya kan bini lu kayak jijik atau takut gitu ke sodara gua... mana tau Arnum bakal begitu juga? Syukur kalau enggak, nah kalau iya...???"

"Hm... sori ya, pacar halal gua itu nanti gua tatar deh...," sesalnya namun memicu tawa dirinya dan sang sahabat, sebelum kemudian mereka kembali memaku fokus pada patung yang akan dipilih ketika salah satunya sudah tiba giliran. "Tapi aneh banget—kok minta tolong Arnum. Gua kira lu mulai jarang latihan nembak karena risih sama tuh cewek. Eh malah minta tolong dia!"

"Itulah... Tapi ya mau gimana... Dah terlanjur..."

"'Dah terlanjur'? Kayak gak ada yang lain aja! Emang dia punya masalah apa sampai pengen bunuh diri gitu?"

"Dia gak maksud mau bunuh diri," menjeda sejenak, merasa tidak baik bilamana memaparkan apa yang dialami sang korban peretasan. "Dah lah, gua gak bisa cerita. Rahasia."

"Serem banget lu main rahasia-rahasiaan segala!"

"Ya kan rahasia dia. Bukan rahasia gua."

"Iya ya. Yaudadeh gua hargai sodara lu. Trus dia sodara lu di pihak emak atau bapak?"

"Salah. Umi atau Abi."

"Oh iya itu." Tatapannya sinis oleh lelucon itu namun ia menahan tawa juga.

"Pokoknya jauh lah."

"Sejauh mana?"

"Sejauh Nabi Ibrahim yang ngaku ke Raja Namrud, Siti Sarah adalah saudaranya."

Sepasang mata Khalid si pemuda berdarah kaukasoid membeliak, bak dihujam kesadaran yang bertubi-tubi. "Berarti dia bukan keluarga kandung lo!"

Sang sahabat mengangkat wajah dengan pandangan membeliak pula, merasa telah salah memilih perumpamaan. Segera ia mengisyaratkan sebuah telunjuk ke bibir. "Ssst!!!"

"Ya trus apa bedanya kita sama presiden?! Sodara juga! Kita sama orang Afrika, Cina, Korea, Jepang, Arab, Turki dan lainnya? Sodara juga woy!!!" sembur Khalid dengan sedikit berbisik tapi mata seakan ingin menelan orang di depannya. "Kisah Nabi Ibrahim yang mengaku Siti Sarah adalah saudaranya karena memang saudara sesama manusia, apa bedanya kita dengan orang-orang di seluruh dunia lintas bangsa?!"

Permainan catur terhenti seketika, Khalid mulai menginterogasi dengan nada bisikan dan mata mengancam.

Lihat selengkapnya