TENTU saja tidak mungkin diungkapkan bahwa nyeri bulanan yang dideranya saat itu. Beberapa kali pada tiap bulan memang begitu dirinya, dan para rekan pengajar memaklumi ketika tiap bulan 'harus' izin tidak masuk karena hal tersebut. Namun tidak berturut-turut sebagaimana bulan sebelumnya, nyeri pra haid pada esok selepas melakukan pemolesan wajah tidak dirasakannya lagi. Ia memanfaatkan kondisi demikian untuk beraksi di sebuah warung internet.
Meski luka masa putih biru atas Indri belum pulih, Shazia rupanya mengantongi nama itu sebagai salah satu upaya penelusuran identitas sang peretas dengan cara mengunjungi media sosialnya. Dan sesuai harapan, tanpa harus menjalin pertemanan, penelusuran awal berhasil dilakukan.
Dikarenakan tidak tahu apakah nama sang peretas menggunakan Q atau K, dicobalah keduanya, rupanya nama Arqam menggunakan Q. Tidak dilupakannya juga sebuah nama lain, yakni Khalid Muzaffar untuk memastikan pula apakah dengan Indri dan Arqam si Rudiyanto juga berteman atau tidak, dan rupanya memang berteman, demikian makin meyakinkan bahwa nama Arqam yang tengah ditelusurinya berteman dengan Khalid dan Indri—memanglah si Rudiyanto. Foto profil sosok yang menjadi sasaran peretasannya, memang terpasang di sana sosok dengan nomor kontak ponsel yang disimpannya dengan nama Amigo.
Arqam Athaillah...
Shazia membaca nama lengkap pemuda itu di media sosial, kemudian menatap cukup lama wajah pada profil itu. Mengerjap sesaat. Penilaian sedang berlangsung pada paras tampan itu yang tengah berfoto dengan seorang wanita gemuk berjilbab panjang begitu berumur dengan wajah keibuan. Segera diakhirinya penerkaan dalam diamnya mengenai latar belakang sang peretas, sebuah kesepakatan berkelebat di tepi ingatannya ketika sebelum diajari meretas, supaya dirinya hanya meretas saja tanpa melakukan tindakan melebihi dari penelusuran identitas.
Dan, peretasan dimulai. Jari dan pandangan seakan berlomba kegesitan antara monitor dan papan ketik. Sesekali dikunjunginya situs tentang cara meretas dari yang sudah ditawarkan Arqam untuk dipelajarinya, sesekali dibukanya buku cara meretas yang dipinjamkan Arqam padanya. Ia harap tindakannya tidak sedang dipantau pengunjung rental internet yang kebanyakan anak di bawah umur yang sedang bermain game dan mengerjakan tugas sekolah. Meski berwajah serius bahkan sesekali ketus ketika diajari, ia merasa selalu takjub oleh angka-angka dan huruf serta simbol yang bercampuran sebagai bahasa pemrograman.
Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Shazia memeriksa, lengkung bibirnya terukir. Usaha pengajuan identitasnya ke aplikasi ojol akhirnya diterima. Ia merasa sangat berterima kasih pada Arnum di dalam hati, namun berusaha supaya tidak dikira gila atau aneh oleh anak di bawah umur sekitarnya. Dilanjutkannya kembali meretas, membaca percakapan dari Arqam dengan beberapa kontak media sosial lain.
Notifikasi dari ponsel merenggut fokusnya kembali, rupanya panggilan masuk dari nomor tanpa nama. Bukan, sudah jelas bukan si peretas karena kontak sang peretas sudah disimpan. Ragu-ragu, diangkatnya panggilan itu. Sebuah suara dengan dialek salah satu daerah seakan menyapa namun tidak dimengerti Shazia.
Mengerutkan kening, Shazia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan pemilik suara pria di seberang sambungan. "Maaf, ini siapa ya?"
"Loh? Riski loh!"
"Maaf, mungkin anda salah sambung?"
"Salah sambung? Jangan bercanda kamu, ini Riski!" Pria di seberang sambungan akhirnya berbahasa Indonesia namun dialeknya yang kental dan bernada kasar tetap tidak hilang.
"Maaf, anda salah sambung. Saya ada kerjaan."
"Sombong sekali kamu! Memangnya sekarang kamu sudah kerja apa hah?!"
Shazia merasa sedang dimarahi. Tebersit ide jahil oleh rasa marah yang teredam karena merasa dimarahi begitu saja, sebelah ujung bibirnya pun melengkung. "Maaf, ini siapa?"
"Loh? 'Maaf ini siapa' lagi? Riski! Gimana sih?"
"Ini siapa?"
"Riski!"
"Ini siapa?" Kali ini nada datar. Begitu ulangnya sebagai ide jahil agar diharapkannya si penelepon salah sambung lekas memutuskan sambungan.