SEPATAH dua patah kata harus diredamnya. Sebuah mal menjadi tujuan setelah ditunjukkan padanya hasil peretasan gadis itu. Aplikasi peta terhampar di layar ponsel, ia menuruti saja ketika kembali memboncengi, membelah jalanan menuju sosok lain. Tatkala sudah sampai di parkiran mal tebersit ingin bertanya untuk apa menemui, namun bungkamnya bagai menjarah manakala harus menyejajari langkah dengan gadis yang sudah berhasil mengungkap identitasnya itu.
Celingak-celinguk gadis berjilbab itu memasuki mal, tiba-tiba mendesis dengan satu tangan meremas perut. Kondisinya mirip saat keluar dari rumah Khalid, begitu Arqam mengamati. Namun saat akan bertanya ada apa, wajah korban peretasannya itu perlahan-lahan menjadi baik-baik saja dengan satu tangan tadi tidak lagi meremas perut. Langkah semakin cepat tatkala sebuah wahana permainan di mal tampak di depan mata.
"Kamu mau ngapain emangnya?" Arqam akhirnya tidak tahan.
Shazia tidak menjawab, sebelah bibirnya terangkat dengan tatapan sinis. Ia memasuki wahana permainan, mendekati salah seorang pemuda yang tengah memainkan nada musik dengan menghentak-hentakkan kaki di atas tombol besar yang mirip lantai. Shazia berdiri di belakang pemuda itu, sementara Arqam tidak mengikuti, mengusap wajah, pemuda yang dihampiri korban peretasannya itu adalah Riski si penelpon salah sambung.
Sempat Riski menoleh pada gadis berjilbab yang berdiri di belakangnya, namun terlihat acuh tak acuh demi mencoba permainan yang lain. Akan tetapi pemuda yang telah diketahui Shazia seusia dengannya melalui hasil peretasan itu akhirnya tidak tahan. "Ngapain sih lu? Ngikutin gua ya?!"
"Kamu yang bernama Riski?" Shazia bertanya dengan raut muka yang sangat datar bak sebuah robot yang belum diprogram untuk memiliki emosi.
"Hah? Siapa lu? Kok tau nama gua?!"
"Wew! Siapa tuh Ki?" Seorang pemuda lain mendekat, sudah pasti merupakan kawan Riski. Tidak seorang diri, bersama seorang lain lagi. Berdua bertanya pada Riski di belakang Shazia.
"Gua gak kenal!"
"Anjir... Jangan gitu lah lu! Kenalin dong ke kita! Gak nyangka ternyata selera lu macam Umi-umi! Hihi!"
Shazia menoleh untuk menunjukkan ketidaksukaannya oleh ejekan dua pria di belakangnya. Kali ini ia di tempat ramai, ia yakin tidak akan bernasib naas sebagaimana sepulang dari wawancara kerja dibekap orang.
"Kamu menelpon saya dan memaksa saya untuk mengenal kamu," Shazia berusaha membuat Riski mengingat-ingat. "Saya tidak kenal, tapi kamu ngotot kalau saya tuh kenal kamu."
"Oh? jadi elu orang salah sambungnya?" Diki terperangah. "Tunggu... Itu..."
"Saya tidak suka orang yang mengucap sumpah serapah. Tapi saya tidak biasa membalas dengan sumpah serapah juga," Shazia memotong ucapan Riski yang terlihat ingin menjelaskan. Tanpa diundur lagi, sebuah alat yang akan dijadikannya pembalasan terhadap Riski, akhirnya dikeluarkan.
Arqam yang mengamati lekas masuk dan merampas alat setrum itu, dengan sigap menarik lengan Shazia supaya tidak berlanjut gadis itu berbuat yang tidak-tidak. Mereka terus berlari sambil Arqam melirik ke belakang untuk memastikan tidak dikejar—meski Shazia belum menjalankan aksi. Secara perlahan mereka memelankan laju kecepatan berlari, sampai berangsur-angsur menjadi berjalan santai ketika terlihat sekuriti yang mengamati sekitar, terlebih sekuriti yang sedang berjaga di pintu masuk keluar mal, demi menghindari kecurigaan. Arqam masih memegang lengan Shazia, yang kemudian kembali mengajak berlari begitu dirasa pandangan dari para sekuriti tidak mampu menjangkau sosok mereka berdua.
"Apa yang kamu lakukan?!" Arqam bertanya begitu ia dan Shazia sampai di parkiran dengan napas terengah-engah.
Shazia tidak lekas menjawab. Berusaha mengatur napas. Dan lagi, nyeri bulanan dialaminya secara tiba-tiba hingga membuatnya terbungkuk dengan satu tangannya ingin menggapai sesuatu untuk ia mampu berdiri.
"Kamu kenapa?!"
"Kamu gak akan ngerti!"
"Ya mana aku ngerti kalau kamu gak cerita?!"
Shazia mendecis. Berusaha mempengaruhi diri agar bisa baik-baik saja di hari awal-awal haidnya. Namun tidak, keringat di tubuhnya mulai membulir, sesuatu yang seolah melilit di bawah perutnya membuatnya harus mencari tempat untuknya duduk.
"Hey! Kamu mau kemana?" Arqam mengikuti, cecaran yang hampir dilontarkannya terurung tatkala Shazia menemukan sebuah bangku panjang dan gadis itu duduk bersandar di dinding yang menjadi fondasi parkiran. Arqam mengerutkan kening, merasa heran dengan Shazia yang entah mengapa terlihat kelelahan bahkan seperti orang akan melahirkan tetapi juga seperti orang sakit perut akibat salah makan. "Apa yang kamu rasakan?" tanyanya hati-hati sedikit membungkuk saat mendekati.
Shazia menggeleng dan menutup mata. Arqam berusaha mengerti untuk membiarkan gadis itu mengais tenaga. Pandangannya pun dialihkan ke alat setrum yang masih di genggamannya. Sepersekian detik kemudian, Arqam tersentak teringat di kampusnya yang Shazia juga seperti orang yang tidak bisa untuk dibilang sadar secara seutuhnya. Namun melihat saat ini, gadis itu tidak sedang bermasalah dengan kaki, melainkan perut yang sejak tadi terus diremas. "Shazia?" panggilnya lagi setelah merasa yakin gadis itu telah lama memejamkan mata.
Shazia membuka mata, menyunggingkan senyum begitu lelah. Terlihat jelas bulir keringat di bawah matanya seperti sedang menangis, ia lantas menghapus keringatnya itu dan berhati-hati untuk duduk tanpa harus bersandar.