DENTUMAN 'tanpa asal' yang sempat dirasakan di dada diabaikannya. Menganggap 'wajar', karena bukan sekali dua kali pernah merasakan. Pertama kali dirasakannya ketika patah hati atas guru yang diidolakan tidak mengabari dirinya yang berhasil memenangkan lomba. Dimulai dari adanya detak yang aneh seakan ada yang mengagetkan, menyebar pada kaki yang gatal tidak tertahankan. Sudah lama dilupakannya rasa patah hati pada sang guru idaman, bersyukur pula karena kakinya tidak kambuh sepulang dari mal gagal membalas Riski.
Masih ada waktu dua hari untuk menyiapkan bawaan, untuk menumpang kembali ke rumah sepupu, berusaha di hadapan orang-orang rumah supaya tidak terlihat sedang memikul 'beban'. Namun tetap merasa tidak nyaman ketika Prita bercerita tentang sang kekasih pada sang ibu, Shazia memasuki kamar dan tepekur di atas kasur. Didatangi ibu untuk memintanya ikut ke warung yang terpisah jauh dari rumah, Shazia dengan terpaksa menolak karena dentuman di dada kembali lagi yang sesekali nyeri haid masih melilit.
Berselancar di jagat maya, Shazia menemukan adanya penyakit gangguan irama jantung. Terngiang ucapan sang peretas saat di rumah sakit, bahwa sebagian besar penyakit fisik berasal dari pikiran, berusaha disugestikannya diri untuk tidak berpikir macam-macam. Dentuman itu perlahan menghilang lagi.
Masa kian merangkak menuju malam. Sempat lelap dinikmati. Akan tetapi dini hari mengalami mimpi buruk, Shazia terjaga dengan dentuman di dada yang ke sekian lagi bahkan kali ini lebih jelas. Masih meyakini bahwa pikirannya mampu membuatnya baik-baik saja, memang berangsur-angsur dentuman kian dentuman berubah menjadi detak yang normal. Tidak dikatakannya pada ayah ibu pada pagi hari.
Sudah diyakini betul tiap dentuman yang dirasakan berasal dari gangguan psikis, sudah diupayakannya pula menganggap Arqam tidak pernah 'melamar'-nya demi tidak diserang pikiran-pikiran yang tidak diinginkan. Namun kembali lagi, meski nyeri haid sudah tidak ada lagi, malam selanjutnya dentuman itu kembali 'kambuh'. Kian bertalu-talu membuat Shazia ketakutan akan kematian. Merasa tidak mampu menahan lagi, jelang tengah malam diketuknya pintu kamar ayah ibu memohon bantuan.
"Bu, kita ke IGD!"
"IGD? Ada apa Shai?"
"Shai dah gak tahan lagi! Deg-degkan dari kemarin malam!"
Shazia kembali ke kamar, memilih pakaian dan jilbab untuk keluar, pun ayah yang akan mencari jaket untuk mengantar sulungnya ke rumah sakit. Hampir Shazia tidak mampu berdiri tegak dan beberapa kali bersandar di dinding. Dan secara anehnya, ketika dalam perjalanan ke rumah sakit, dentuman itu perlahan memudar.
Dokter memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan, dikatakan detak jantung Shazia normal. Shazia merasa ingin protes bahwa ia tidak sedang berlebihan. Dilakukanlah pengambilan darah ketika diakui memiliki hipokalemia, rupanya hasilnya justru menunjukkan angka yang masih wajar dalam ketentuan standar. Diputuskan diagnosisnya adalah asam lambung. Shazia pasrah saja meski ia sangat yakin bukan asam lambung. Walau demikian, diturutinya saja untuk konsumsi obat-obatan asam lambung.
Memang, kondisinya sudah kian stabil tiap malam meski ia tetap tidak yakin bukan maag penyakitnya. Hal itu terbukti ketika kembali merasakan dentuman sebelum obat-obatan itu habis, diputuskannya mengirim pesan izin sakit ke grup pengajar di rumah singgah demi ke puskesmas untuk meminta surat rujukan ke rumah sakit. Untung saja tidak perlu menunggu hari esok atau lusa untuk lanjut ke rumah sakit, hari itu juga setelah dari puskesmas didatanginya rumah sakit ke dokter penyakit dalam. Ada rasa cemas yang tengah dirasakan meski samar selama menunggu panggilan dokter, dikatakanlah apa yang belakangan ini dirasakannya begitu sudah berada di ruang dokter. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk memastikan benarkah ada gangguan pada irama jantung.
"Tidak ada ya," ungkap dokter muda dengan nama Helen itu setelah Shazia menunggu hasil pemeriksaan EKG.