SUDAH tidak dirasakannya lagi dentuman di dada yang sempat mengganggu, ia merasa begitu sehat sampai tergoda untuk tidak meminum obat. Sudah dicaritahunya tentang penyakitnya di kanal situs video milik seorang dokter kesehatan jiwa, bahwa memang ada kekeliruan pada bagian otak yang menyebabkan gangguan panik terjadi. Ia mencerna pemaparan dokter itu, bagian otak yang dimaksud sedang kehilangan kendali semacam tidak mampu mengendalikan diri atau dalam istilah otomotifnya adalah rem blong, maka yang seharusnya tidak perlu jalan justru terus melaju. Yang semestinya tidak ada yang ditakutkan tapi tubuh seakan sedang dalam ketakutan. Shazia harus bersabar, sebab masih awal pula dirinya menjalani tahap pengobatan, tidak semestinya menghentikan pengonsumsian obat-obatan tanpa saran atau anjuran dokter.
Akan tetapi memang bukan dentuman yang dirasakan pada Minggu berlalu Minggu setelah menemui dokter usai sepekan dari pertemuan pertama—demi menerima obat bulanan, adalah sebuah debar-debar yang dirasakannya saat sedang dibonceng Lisa menuju rumah Tiara sang kepala sekolah. Memang sempat kecewa karena dipinta mencari pekerjaan dekat rumah padahal keputusan untuk tetap mengajar di rumah singgah akan menjadi tantangan supaya makin menjaga kesehatan, namun dengan jadwal yang tidak pernah alami perjumpaan membuat perasaannya berangsur-angsur berbuah rindu bahkan haru karena perjumpaan kelak akan terwujud. Terkenang saat SMA sengaja benar masuk Rohis karena wajah itu yang serupa dengan Marsha meski tidak seperti kembar. Sudah lama pula tidak ta'lim melingkar sebagaimana yang pernah dilakukan semasa SMA sejak sang kakak pembina ta'lim melingkar yang kini menjadi atasan para pengajar di rumah singgah telah menikah, terlebih setelah diamanahi seorang putra. Meskipun ada sesal pada Marsha yang berimbas menjadi gugup pada Tiara, tetapi mengajar di rumah singgah membuatnya akan selalu berinteraksi dengan Tiara meski melalui grup di aplikasi perpesanan. Dan kini perjumpaan akan terjadi setelah permintaan salah satu pengajar untuk berlibur dipenuhi.
Freya yang meminta supaya ada masa untuk para pengajar berlibur. Berbilang hari bahkan minggu menanti, Tiara akhirnya mengabarkan bahwa sang suami mengizinkan. Bertepatan pula dengan Shazia yang tanpa sepengetahuan para rekan pengajar melakukan perjalanan pulang pergi dengan kereta api karena tidak terima dengan ayah sang sepupu yang mengejeknya dengan usia terlampau seperempat abad namun belum juga menikah, ejekan berlanjut menyebut orang seusia Shazia di kampung telah menikah dan memiliki enam anak, padahal sang sepupu sendiri yang setahun lebih tua baru dikaruniai satu orang putri setelah menikah. Belum lagi ejekan menjodoh-jodohkan dengan karyawan baru di warung makan—yang merangkap rumah—karena kamar tamu yang ditempati berdekatan. Tidak hanya itu, dirasakan betul tatapan tidak senang dari ayah sepupu ketika suami putrinya mengajak bicara yang membuat pikiran menerka-nerka seolah-olah menantunya akan direbut. Akibat kekecewaan pada suami dari sang Bibi, lantas begitu kembali ke rumah tidak pernah lagi berangkat ke rumah sepupu meski tidak yakin apakah sopan atau tidak karena tidak mengabari tidak lagi akan menumpang tinggal. Dibiarkan saja ibu yang menerima panggilan sambungan telepon dari sang kakak perempuan bertanya mengapa sang keponakan tidak kembali, dan untungnya ada alasan yang sudah direncanakan untuk diajukan. Tidak perlu dikatakan jua perihal penyakit jiwa yang diderita selain ayah ibu yang tahu, dikhawatirkan akan dicecar mengapa pula menderita penyakit jiwa yang untung saja--mungkin atas bantuan obat-obatan--tidak mengganggu aktivitasnya dalam mengajar. Atas semua itu, liburan berupa berkemah kali ini harapnya menjadi pilihan tepat untuk memperbaiki suasana hati.
Namun bicara kondisi saat ini, tidak mampu dibayangkan bila para rekan pengajar terutama sang kepala sekolah tahu bahwa ia mengidap gangguan jiwa. Diikutinya info ilmu kejiwaan di jagat maya, ada ketidaksetujuan darinya terhadap pendapat sebagian penggiat kesehatan jiwa yang menyebut kesehatan jiwa dan agama tidak ada hubungannya.
Mana bisa kesehatan jiwa dan agama tidak ada hubungan? Bukankah kesehatan itu nikmat dari Yang Maha Kuasa? Termasuk nikmat sehat secara jiwa. Mempelajari kejiwaan? Bukankah jiwa itu ciptaan Sang Pemilik Segala Jiwa? Bukankah bisa menjadi pahala bila mempelajari ilmu kejiwaan jika berniat untuk menolong sesama? Habluminannas kan? Ajaran agama juga! IlmuNya kan ada dimana-mana!
Sebuah postingan tentang demikian pun menjadi topiknya di akun media sosial berbagi foto. Dengan foto yang sekiranya cocok dengan isian tulisan, dicurahkannya pendapat di sana. Tidak hanya satu pendapat di akun HojichaLatte, namun berlanjut pada pembaruan setelahnya tentang sang manusia mulia yang kala sedang terpuruk ditinggal wafat orang-orang tercinta, tidak dipaksa untuk bersyukur, tidak dipaksa jangan sesegera hentikan bersedih, tidak diejek 'manusia suri tauladan mengapa pula sedih padahal kelak dengan orang-orang tercinta akan dipertemukan di surga', justru oleh malaikat atas perintahNya dihibur berupa perjalanan menuju surga neraka yang kemudian menjadi peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Tersematkan senyum pada bibir Shazia bila mengingat Tiara adalah salah satu yang membubuhkan 'love' pada pembaruan-pembaruannya yang terbaru. Entah sudah melintasi jalan mana saja yang dilalui Lisa yang tengah memboncengnya menuju rumah sang 'kakak idaman', Shazia seolah-olah asyik menenggelamkan diri dalam benaknya yang memilin segala pikiran dan rasa. Mengidap gangguan jiwa dalam keadaan masih memiliki akal sehat akibat dicederai secara psikis sejak kecil membuatnya mengais puing-puing dari kisah Nabi dan Rasul yang memang diperuntukkan untuk ditiru atau menjadi teladan bagi umat manusia. Salah seorang warganet bahkan mengomentari salah satu pembaruan terbaru Shazia bahwa Nabi juga manusia, seperti Nabi Yaqub mengalami psikosomatis--gangguan psikis berimbas menjadi penyakit fisik--berupa kebutaan akibat menangis terus menerus 'ditinggal wafat' Nabi Yusuf sang putra bungsu. Hal demikian bukan berarti menandakan percuma beragama atau menganggap agama tidak membantu, melainkan justru Sang Pemilik segala jiwa memang menyarankan untuk berusaha dan berdoa. Berusaha melalui pengobatan dengan psikiater atau jalani konseling dengan psikolog, dan berdoa hanya kepada Dia yang Maha Penyembuh semoga proses menuju pulih dikabulkan dan diridhoiNya.
Sungguh sangat disayangkan bila dua 'kubu' yang kubu satu menolak adanya keberkaitan kesehatan jiwa dengan agama, sementara kubu lain yakni yang menolak menjalani pengobatan dengan profesional atau mempelajari ilmu kejiwaan yang dianggap tidak perlu bahkan mungkin dikira sesat. Namun meski keyakinan bahwa agama masuk ke dalam segala topik, diam-diam Shazia merasa takut bila Seruni tahu kondisinya yang tengah menjalani pengobatan dengan dokter kesehatan jiwa.
"Woy! Lu ngelamun? Bentar lagi kita nyampe!" Lisa berseru ketika lampu merah sedang berlangsung membuatnya dan para pengendara lain yang sejalur menghentikan laju. Telah dibukanya kaca helm untuk memudahkan Shazia mampu mendengar seruannya. "Gua kira lu ilang tau gak! Diem aja dari tadi!"
"Apa aku begitu ringan sampai kamu kira aku hilang?"