"JIN! Kirim link keberadaan kamu sekarang!" Tanpa salam, suara seberang sambungan terdengar memerintah. "Kamu masih mau menuruti perintahku, kan?!"
"Baik. Aku akan kirim," pelan Arqam menjawab, barulah salam didengarnya dan ia pun membalas sebelum kemudian sambungan ditutup. Belum sempat berprasangka apa yang sebenarnya terjadi, Khalid yang tadi tidak dipedulikannya mengejarnya kian mendekat. Namun kalau bukan Shazia yang baru saja menelpon, Arqam yang hampir sampai di kantor polisi tidak mungkin menepikan kemudi. Sedikit merasa tergelitik oleh dirinya dipanggil 'Jin'--karena memang dirinya yang menyebutkan diri pada sang korban peretasan--tapi sedikit heran mengapa 'mau saja' menerima panggilan masuk yang tidak tahu olehnya bahwa itu Shazia—padahal sudah ditekadkannya untuk menolak bicara dengan siapa pun demi menyerahkan diri pada pihak berwajib.
"Alhamdulillah lu mau berhenti...," Khalid dengan kendaraan beroda duanya yang sudah bersebelahan dengan Arqam, terengah-engah seakan-akan baru saja berlari. "Siapa yang nelpon lu tadi?"
"Shazia," jawab Arqam.
"Hah?" Khalid cukup terkejut, namun kemudian bingung ketika dirinya ditatap dengan penuh selidik.
"Jangan-jangan... kalian bertiga dah nelpon ke Shazia?"
Khalid tidak serta merta menjawab, kedua alismatanya bertaut menunjukkan sedang menerka-nerka. "Kalau pun iya, misalnya itu dari Indri--soalnya gua gak nelpon--gua pikir lu dah bener harus berhenti. Emang apa kata dia?"
"Dia minta gua sharelock."
"Artinya lu bakal disamperin!"
Arqam menutup matanya sekejap dengan begitu kuat, tidak mengerti apakah telah salah dipanggil 'Jin'—patuh begitu saja sebagaimana dirinya yang masih dikenal sebagai Rudiyanto.
"Ar, balik yuk. Kita ke kafe. Biar nanti bicara baik-baik pas Shazia datang."
"Gua dah terlanjur kirim, ya gua bakal nunggu di sini."
"Yaudah," Khalid lalu menoleh mencari tempat untuk duduk. "Ada es tebu tuh. Ke sana yuk. Kayaknya ada bangkunya di sana. Sekalian beli, biar mendingan juga. Yuk!"
Arqam memandang datar Khalid, merasakan Khalid yang kali ini sangat jauh berbeda, begitu mengkhawatirkannya tanpa ada bumbu-bumbu jenaka meski dengan alasan menghibur. Ia pun mengangguk, kembali mengendarai kuda besi beriringan dengan Khalid menuju seberang jalan. Untung saja sedang tidak ada pembeli, maka mereka bisa duduk berdua tanpa merasa ada yang mengganggu—meski tidak ada sepatah kata pun yang keluar untuk saling berbicara sampai minuman mereka sudah di tangan.
Khalid yang sedikit gelisah, sementara Arqam seakan-akan begitu santai padahal hampir dirinya menyerahkan diri pada pihak kepolisan. Bergulir menit merangkak menuju hitungan jam, Arqam mengangkat pandangan pada kantor polisi yang tidak jauh di seberang jalan. Tidak ada dering, tapi atensinya teralihkan pada Khalid yang menjemba ponsel--yang sudah pasti sedang bergetar oleh adanya notifikasi atau sambungan telepon.
"Cari gerobak es tebu! Atau, gua sharelock!"
Arqam mengamati dengan sedotan di mulut. Ia tidak bertanya dengan siapa Khalid bicara meski percakapan sahabatnya dengan orang seberang sambungan sudah berhenti. Tak lama kemudian, seorang pengendara motor dengan seseorang yang dibonceng datang menepi dan membuka helm. Arqam terkejut oleh sosok orang yang dibonceng. "Apa maksudnya ini?" tanyanya pada Khalid.
"Arqam, maaf, lu tenang dulu," Jelila yang berkata. "Indri bakal deket lagi nyampe bareng Shazia."
Arqam memalingkan wajah pada mereka si pengendara motor dan si yang dibonceng.