LAJU dalam kemudinya sudah menjadi ibarat bentuk debar yang memburu. Tatkala lampu merah menghentikan para pengendara jalanan, ia menoleh ingin memastikan bahwa dua gadis yang melaju bersamanya tidak tertinggal jauh. Menuju rumah si perantara, setelah paparkan mengenai panggilan masuk Umi Abi barusan, yang mendesaknya ke sekian kali. Begitu sang gadis mengangguk bersedia, diisyaratkannya Indri agar membonceng sekali lagi, meninggalkan tiga lainnya.
Separuh perjalanan baru disadari, semestinya menghubungi Usman lebih dulu untuk menyusun janji temu, namun ia merasa tidak bisa lagi mengurungkan laju kuda besinya. Dalam hitungan menit yang kian bergulir, rumah dengan pagar hitam itu tampak. Indri di belakang turut menepi.
Mengucap salam, tidak ada jawaban. Mengucap salam sekali lagi. Tidak ada lagi. Saat akan mengucapkan salam untuk ketiga kalinya, dengan berusaha gugupnya tidak tampak, dimintainya Shazia sang gadis supaya menelpon Tiara, yang disembarikan pula akan menelpon Usman. Menunggu sambungan terhubung, ucapan salam masih dilempar kembali. Terdengar suara wanita menjawab salam dari balik pagar hitam yang setinggi orang dewasa itu, sambungan pun dimatikan.
"Kak, Shazia pengen ketemu!" Arqam dengan jahil namun wajahnya tetap dingin, berkata pada Tiara yang akan membuka kunci pagar.
Shazia sudah tentu mengerutkan kening tidak mengerti maksud pemuda itu, sementara Indri hanya menggaruk bagian belakang telinganya yang tertutup jilbab dengan wajah 'tidak habis pikir' oleh masih sempat-sempatnya berkelakar.
Terdengar lagi suara Tiara sedang menggumam seperti bertanya di balik pagar yang kemudian dibukanya. Sedikit terkejut oleh kedatangan Arqam, terlebih ada Shazia juga bersama seorang gadis berjilbab yang tidak dikenalnya.
"Maaf kak, ganggu—gak nge-bel. Saya dan Shazia datang mau bicara serius..."
Tiara mengangguk-angguk terlihat warna keraguan di wajahnya. "Tapi Abinya Suhail belum pulang. Bentar lagi sih..."
"Kami akan menunggu." Tegas Arqam berkata, ia lalu teringat suatu hal tentang mengapa harus menunggu Usman. "Ohya kenalkan kak, Indri, yang bonceng Shazia ke sini. Mungkin mereka boleh kakak izinkan masuk...??? Nah saya di luar sekalian nunggu kang Usman."
"Baik," Tiara mengangguk, kemudian menyilakan dua gadis masuk. Sedangkan Arqam duduk di bangku kayu depan sebuah toko yang sedang tutup di samping rumah Tiara, mengirim link keberadaan dirinya ke umi dan abi.
Sementara itu, Tiara menawarkan suguhan di ruang tamu setelah berkenalan singkat dengan Indri. Ia mendengarkan penjelasan yang melatarbelakangi dua gadis dan Arqam bertamu. Untung saja Suhail sedang tidur, penjelasan tiada gangguan hingga Tiara mengangguk takzim, lalu tertegun.
Entah sudah terhitung menit ke berapa, Usman sudah pulang dan dirinya sedikit terkejut ketika dipanggil dan dihampiri Arqam yang menanti.
"Qam? Kok?"
"Ada Shazia dan teman kami di dalam, kang. Kami butuh bantuan kang Usman dan kak Tiara sebelum Abi dan Umi saya datang."
Usman diam sejenak, mengangguk samar sebelum kemudian menepuk bahu Arqam. Ia lalu mengucapkan salam pada sang istri di dalam rumah. Tidak menunggu lama, pintu dibukakan dari dalam oleh Tiara. Melepas alas kaki dan masuk ke ruang tamu, Tiara memberikan suguhan pada Arqam dan suami. Sejenak senyap seakan-akan waktu akan bergulir begitu lama, dinikmati sebentar suguhan, sebelum kemudian membicarakan hal yang mendasari tujuan tiga tamu—terutama dua tamu—bertandang.
"Jadi kamu nantangin Arqam temui orang tua kamu, Shaz?" tanya Usman.
"Ya," Shazia tersirat ragu.
"Kok ragu?" Usman menatap selidik.
"Kamu gak terpaksa kan, dik? Gak dipaksa Arqam, kan?" Tiara menahan senyum.
"Aku bukan terpaksa atau dipaksa. Tapi... ya seperti kalian tau kondisiku..."