OBAT-obat antidepresan itu rasanya ingin dihabiskan dalam satu waktu. Sesak kecil yang merupakan gejala gangguan panik mulai kambuh meski tidak separah pertama kali--setelah Tiara dan Arqam dengan orangtuanya sudah pamit. Belum lagi ibu dan ayah yang memastikan kembali apa yang menjadi pilihan putri sulung mereka, sebelum kemudian dengan antusias ibu menghubungi para sanak kerabat. Rasa 'takut' akan disodorkan ibu supaya bicara pada para paman dan para bibi, mendorongnya pulang lebih dulu. Duduk termenung di salah satu sudut kamar, saat itulah pikiran ingin menandaskan obat-obatan antidepresan melintas.
Tentu tidak akan dilakukan, dengan cepat menyadarkan diri bahwa tindakan itu merupakan hal bodoh, lekas diingat ada orang overdosis karena pemakaian obat yang tidak menurut anjuran dokter. Namun dirasakannya diri seperti ketakutan dan ingin menangis meski tidak ada yang dipikirkan, bahkan sedang diupayakannya untuk memikirkan pernikahan yang indah dengan Arqam tetapi tubuhnya tetap terasa ketakutan. Terlintas 'butuh bantuan' pada Khadijah, maka dijangkaunya ponsel di dalam tas, memulai percakapan.
"Khadijah, maaf aku ganggu kamu. Tolong aku. Tolong doakan aku semoga aku baik-baik saja. Aku sedang ketakutan." Send.
Shazia meletakkan ponsel di dekatnya, mencoba untuk tidak menunggu dengan secara perlahan mengucapkan istighfar dan kemudian melafalkan nama-nama Sang Pencipta. Perlahan-lahan air mata membulir seiring dirasakan sedikit lebih tenang dengan tubuh bersandar di dinding.
Notifikasi masuk, Shazia menarik napas dalam-dalam dan kembali membuka aplikasi perpesanan. "Ada apa, Shai? Kamu lagi kenapa?" Begitu dibacanya balasan Khadijah di dalam hati.
Lelehan air mata kembali mengalir meski wajahnya terlihat tidak sedang berduka. Seraya berusaha menenangkan diri, dibalasnya tentang lamaran dan sosok Arqam.
"Aku baru saja dilamar. Namanya Arqam. Dia peretas." Tanpa ada yang ditutup-tutupi, sebuah kotak dialog dalam percakapan dengan Khadijah menjadi begitu panjang diketiknya. Akun Blueberry, konseling, perkemahan, Tiara yang menjadi perantara, sampai pengobatan dengan psikiater dan Arqam bersedia menjadi Caregiver. Send.
Overthinking mulai berlangsung mengenai bagaimana tanggapan Khadijah, membuatnya merasa begitu kewalahan oleh segala yang melintas di pikiran. Terpejam matanya hampir tertidur, tetapi Khadijah setelah beberapa detik kemudian membalas lagi.
"Alhamdulillah kamu sudah menemukan calon kamu, Shai. Dia pasti sosok yang baik karena mengetahui kekurangan dan kondisi kamu yang sedang jalani pengobatan, bahkan ternyata kamu ke psikolog karena dorongan dia."
Shazia kemudian membalas dengan benak menebak-nebak bagaimana perasaan Khadijah yang sesungguhnya karena balasan yang baru dibacanya terkesan datar. "Makasih, ini pasti berkat doa kamu... Aku sempat menolak dia karena aku ketakutan kalau pernikahan itu terjadi, aku mikir tentang mengapa ketakutan itu ada mungkin karena sejak kecil dijadikan objek untuk disalah-salahkan terutama saat di SD oleh si juara satu. Mungkin ada ketidaksadaran dariku takut disalah-salahkan oleh suami kelak, mengingat istri harus nurut sama suami dan ntar entah bakal disalah-salahin kayak gimana dah kalau gak sengaja berbuat salah. Untuk itu, sekarang aku butuh doa kamu supaya kejiwaanku baik-baik saja."
"Aku akan selalu mendoakan kamu, Shai. Kamu juga harus percaya bahwa suami tidak sekejam itu, meskipun ada tapi gak semua begitu. Kalau baik agamanya In Sha Allah mengerti bagaimana memperlakukan istrinya. Kamu pantas dicintai, dan kamu pasti bisa melewati proses menuju pulih dari trauma masa kecil. Semoga si calon benar-benar menjadi suami yang pengertian untuk kamu. Tapi jaga hati ya sampai jelang akad, godaan jelang akad itu ada aja. Hehe..."
Shazia menahan haru membayangkan Khadijah yang berada di depannya sedang berkata hati-hati. "In Sha Allah. Aku harap kamu benar-benar datang. Aku gak mau patah hati lagi kayak ke Iqlima. Kamu saudara aku yang sesungguhnya meski kita gak sedarah."
"Saudara seiman memang lebih kuat daripada saudara kandung, Shai. Semoga persahabatan kita sampai ke jenjang surga ya."
Dengan tubuh telungkup sambil memeluk bantal, Shazia merasakan derasnya air mata haru oleh tidak menyangka sosok yang masih takut baginya disebut sebagai sahabat, ternyata benar-benar menyebutkan hubungan dirinya dengan si sosok tersebut dalam sebuah persahabatan, bahkan ada doa semoga berlanjut ke surga.
Terisak-isak Shazia menyebut namaNya, teringat sejak kecil pasrah bila tidak akan pernah memiliki sahabat seperti orang-orang lain, dan kini sosok itu benar-benar nyata. Beruntung di rumah sedang seorang diri—khawatir akan dicecar mengapa menangis. Setelah sedikit tenang, dikirimnya stiker dengan gambar tokoh kartun bertulisan 'aamiin' pada Khadijah, dan stiker dengan tokoh kartun bertulisan 'makasih' setelahnya. Khadijah mengirim hal sama namun dengan stiker tokoh kartun bertulisan 'sama-sama'. Belum selesai sampai di situ, pesan dari sang edelweis kembali datang berupa sebuah e-book pernikahan.
Berangsur-angsur perasaan mulai membaik, entah karena telah bicara dengan Khadijah apa bukan. Maka ketika ayah ibu pulang dari warung, merasa sudah tidak apa-apa lagi bila mereka mengabari sanak kerabat. Tak lama Prita dari kantor pun pulang, turut girang karena sang kakak akan menikah. Berturut-turut hari demi hari dilakukan ayah ibu mengabari sanak kerabat, dan Prita mengabari teman-teman yang juga adik kelas kakaknya di masa SMA, termasuk diberitahunya pada sang kekasih.
Seiring dibacanya pula e-book dari Khadijah, sesak dan ketakutan secara tidak dimengerti Shazia tidak ada lagi selama hari kian hari berjalan hingga sudah melewati hari pertemuan antara dua keluarga. Masa pun kian merangkak menuju hari fitting baju, dan sebelum hari itu tiba, Arqam menghubungi ingin datang ke rumah singgah bersama umi dan abi untuk berbagi.
Dengan senyum yang tak mampu ditahan karena pernah menolak buku-buku yang akan disedekahkan Arqam, Shazia meminta izin dulu pada Tiara sang kepala sekolah melalui aplikasi perpesanan. Tiara pun membalas 'boleh', jawaban yang sama dibalas Shazia pada Arqam.