Retas

Gia Oro
Chapter #41

Pacaran

PESAN yang tersemat di sanubari tidak diselipkannya pada kartu undangan pernikahan. Pesan yang begitu istimewa untuk mereka yang menganggapnya ada, namun gemetar di dada oleh sungkan dan gugup begitu mendominasi. Maka ketika esok seseorang datang akan menemaninya untuk mendatangi orang-orang yang menganggapnya ada yang tentu saja telah dihubungi lebih dulu terkait kedatangannya kelak, memang hanya berupa kartu undangan saja yang akan diberikan pada tiap sasaran tanpa menyisipkan pesan istimewa tersebut.

Shazia seakan becermin memandang helm yang tengah dikenakan Indri selama perjalanan. Tidak mampu berkata apa-apa selain terima kasih meski terasa tidak cukup kepada sosok yang pernah dibencinya itu. Bertahun-tahun tidak berjumpa, dan begitu berjumpa justru membuatnya ingin minta maaf, namun tidak yakin bila Indri akan mengerti. Pada kenyataannya, kisah cinta monyet memang tidak perlu diungkit kembali.

Indri melaju, menepi sampai berhenti untuk kemudian mengikuti Shazia bertamu di rumah Marsha. Nostalgia pernah sekelas di tahun kedua SMP pun berlangsung, dan terhenti ketika sang buah hati terbangun. Berlanjut pada kediaman Seruni, secara mengejutkan wanita yang dikenali Shazia melalui jagat maya itu tengah mengemban amanah di dalam kandungan. Indri tidak banyak ikut bicara, kalau bukan Seruni yang memulai lebih dulu.

Waktu terasa lama kalau sudah bertemu Seruni, segala hal bisa menjadi topik. Maka ketika azan, Shazia dan Indri pamit--setelah solat. Saat Indri bertanya rumah mana lagi yang akan dituju, wajah Shazia muram, terlebih setelah mengakui bahwa memang hanya orang-orang yang baru didatangi barusan yang merupakan kawan-kawan Shazia, sisanya yaitu Khadijah hanya akan dikirimkan kartu undangan melalui online karena domisili tidak di Jakarta.

"Ke sana aja gak apa-apa, sekalian jalan-jalan!"

Shazia melihat Indri seperti tidak main-main, ia lantas meminta waktu untuk menelpon Khadijah. Setelah beberapa kali berusaha menghubungi, akhirnya Khadijah menerima panggilan, namun sang edelweis rupanya sedang tidak di rumah. Indri pun cemberut manja mengetahui itu. Putar balik, lebih dulu memulangkan Shazia. Dalam perjalanan, tersibak dalam benak Shazia atas Indri bahkan Jelila dan Arnum.

Jelila dan Arnum dengan penuh permohonan supaya diizinkan mengerahkan jasa rias pengantin terbaik yang secara kolektif biayanya ditanggung oleh mereka sebagai wujud permintaan maaf. Khalid, ia tidak hanya turut membantu secara materi terhadap jasa rias pengantin sebagai permintaan maaf atas sang istri, ia juga akan mengawasi Jelila dan Arnum apakah sungguh-sungguh kah—meski hanya candaan, karena istrinya dan Arnum memang sudah sangat menyesal.

"Bener nih gak ada lagi?" tanya Indri begitu sampai di depan rumah Shazia.

"Temanku sedikit," jawab Shazia setelah turun dari boncengan dan mengembalikan helm. "Rekan pengajar dah kukasih tau, dan adikku juga undang teman-temannya yang juga adik kelasku." Samar kelabu dirasakan Shazia, merasa tidak mungkin menceritakan tentang Iqlima.

Indri menarik sebelah ujung bibir dengan wajah berpikir.

"Ayah ibu aku punya banyak saudara kandung juga, belum lagi sepupu-sepupu mereka dan sepupu-sepupuku juga. Nanti juga akan ramai oleh mereka, belum lagi Arqam yang satu komunitas sama kamu...," Shazia khawatir dirinya sedang dikasihani.

"Tapi kita kan satu sekolah, bagaimana kalau aku undang mereka yang pernah sekelas dengan kita dulu?"

"He?" Shazia mendadak diserang khawatir manakala sang cinta pertama akan diundang.

"Masih ada kan undangannya? Sini! Biar nanti aku ngakunya kamu sebagai sodara aku, kayak kamu dan Arqam dulu. Hihi..."

Shazia tidak mampu menanggapi lelucon Indri, karena berusaha untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Ia masuk rumah dan mencari kartu undangan yang masih dengan tanpa nama tujuan.

Tak lama, Indri menerima beberapa kartu undangan tanpa nama tujuan. "Dah, aku pamit ya."

Shazia tidak menjawab, malah seakan terpukau oleh kecantikan Indri.

"Shaz?" Tidak mempan Indri menegur, baru ia menepuk lengan Shazia, Shazia pun tersadar. "Kenapa?"

"Ma... makasih..."

Indri tersenyum arif, mengangguk dengan pikirannya yang mengira Shazia berterima kasih karena bantu sebarkan undangan. Ia lalu mengucapkan salam dan kembali melaju ke rumahnya. Sementara Shazia, seperti membatu memandang sosok yang kian mengecil oleh jarak.

>>>

Berkilauan di segala sudut. Hari yang beranjak sakral itu tiba. Di ruangan terpisah dalam sebuah masjid raya, Shazia yang begitu jelita dengan riasan dan gaun yang dikenakan tengah menunduk ketika khutbah menjelang akad dibacakan oleh seorang penghulu yang berhadapan dengan Arqam yang kian bertambah tampan. Para tetamu menyaksikan. Begitu khidmat.

Rintik air mata bergulir tatkala koor "sah" yang disusul "Alhamdulillah" memenuhi ruangan masjid. Beberapa wanita yang duduk di dekat Shazia mendekapnya. Untuk pertama kali perasaan takut akan banyak orang secara tidak sadar sedang tidak dirasakan. Ia dibimbing oleh ibu dan Prita menuju Arqam yang berada di meja akad. Melangkah perlahan menjadi sorot perhatian. Tanpa diketahui siapa pun kecuali Sang Pemilik hati, di dalam dadanya tengah menjangkau ucapan Khadijah bahwa ia pantas dicintai dan saat ini tidak sedang diadili.

Wajah-wajah yang menjadi istimewa baginya berada di sisi kiri dan kanan selama melangkah menuju meja akad. Shazia harus menahan diri atas gejolak haru ketika melihat Khadijah yang hamil besar, Seruni yang hamil muda, Marsha yang menggendong bayi, bahkan Indri, pun Jelila dan Arnum.

Berputar kembali benaknya atas permasalahan yang sempat terjadi dengan Indri, Arnum, Jelila dan Khalid serta Arqam yang melalui kasus dengan mereka justru membuatnya kini menjadi bak seorang putri. Seumur-umur tidak pernah didapatinya pandangan dari banyak pasang mata penuh penghargaan padanya seperti sekarang, kecuali ia akan menganggapnya sebagai kamuflase. Tetapi kini sudah dikenalinya diri sendiri, menjalani pengobatan dengan psikiater, menerima diri sendiri, sebagaimana sang pangeran menerimanya--meski pada mulanya ada sebuah 'tanggung jawab'.

Dan, sang pangeran mengulurkan tangan. Para tetamu mengabadikan momen tersebut. Beberapa petuah dan doa ditujukan pada sepasang pengantin baru. Mencium kening sang istri dari sang suami, dan mencium punggung tangan sang suami dari sang istri. Sepasang kekasih halal itu bergandengan tangan melangkah menuju pelaminan.

Sang MC yang sudah sejak sebelum akad dimulai, mempersilakan tetamu bergantian akan bersalaman dengan sepasang pengantin. Sementara tetamu yang malas mengantri, memilih menikmati hidangan pernikahan lebih dulu. Acara semakin meriah ketika Khalid dan Usman baru datang dengan para ibu murid-murid beserta anak-anak rumah singgah--yang datang dengan bus sewa. Sesi foto-foto pun menjadi riuh oleh mereka.

Sosok Natasha sedang bersama Indri, membuat Shazia berdebar rindu.

"Wah, Shazia dah lama gak ketemu. Selamat ya." Natasha berkata datar begitu menghampiri, sebelum kemudian bersalaman. Sangat jauh berbeda dengan Indri yang terasa tulus memeluknya.

Arqam dalam diam memperhatikan Shazia yang menderaikan air mata ketika Indri mendoakannya saat pelukan berlangsung. Tidak disangka Shazia bila sosok yang dibenci benar-benar kini menjadi temannya.

Lihat selengkapnya