BERKELEBAT kembali tepian benaknya pada momen diri yang hampir menyetrum si pelaku salah sambung. Berputar-putar pikirannya bagaimanalah pandangan Arqam atas tindakan yang hampir diperbuat itu. Tetapi di luar sangkaan, pria itu justru mengajukan sebuah tawaran mulia. Tidakkah malu bilamana memiliki istri yang tidak memiliki kendali? Akan tetapi bila membicarakan tidak memiliki kendali, hampir tidak pernah ada selama riwayat hidupnya pernah melakukan pembalasan.
Shazia termenung, berusaha mengingat-ingat kapan pernah melakukan pembalasan. Dengan pandangan ke luar mobil yang tengah melaju menuju perkemahan, memorinya justru tertaut pada ketakutan yang sebegitunya setelah diajukan tawaran mulia usai 'insiden' hampir menyetrum terjadi dan itu bisa akan membuat dirinya malu.
Tangan kokoh yang terlihat atletis itu meraih senjatanya. Meraih pula satu tangan yang lain. Menariknya berlari keluar mal. Tidak tahu oleh Shazia apakah karena tindakannya akan menyetrum Riski telah gagal harus disyukuri atau tidak. Tentu akan menjadi kegaduhan karena akan membuat pingsan satu orang bahkan bisa saja lebih.
Dugaan yang sudah dilupakan akhirnya benar dikatakan sang MestaKung, frustasi seakan menggerogoti tatkala tindakan tercela tanpa sengaja yang telah dilakukan sang peretas dikatakan. Dugaannya bukan sekadar dugaan.
"Shaz? Gak apa-apa?" Freya menegur karena sepanjang perjalanan menuju perkemahan, hanya Shazia yang tidak ikut bercengkrama santai dengan para pengajar satu mobil.
"Kenapa? Mabok perjalanan, dik?" Tiara yang duduk memangku putranya di samping sang suami menoleh ke belakang.
"Gak, kak. Lagi liatin jalanan aja." Shazia tidak tahu apakah ia sedang berbohong, namun memang tiap dalam perjalanan selalu memandang gerakan semu adalah hal yang disukainya, terlebih setelah diagnosis gangguan jiwa telah diderita demi menjadikan diri rileks, meskipun berbagai serangan pikiran seakan ingin merebut tahta benaknya atau memori-memori lama ingin berebut menampilkan apa yang sudah lampau menjadi seperti film dalam ingatannya.
"Ntar kalau mau muntah bilang ya, biar gua cari plastik dulu!" Lisa mulai sibuk mengorek isi tasnya.
"Lisa! Dia kan belum bilang mau muntah!" Tiara menahan tawa, diikuti sang suami dan pengajar-pengajar lain.
"Aku punya anti mabuk perjalanan sendiri kok. Tapi sekarang emang lagi gak mabuk," pungkas Shazia menahan senyum karena memang perjalanan jauh termasuk kelemahan baginya.
"Noh denger! Jangan bikin keputusan sendiri!" Meri menahan tawa seraya mendorong canda bahu Lisa.
Secara perlahan-lahan satu per satu mulai terlelap. Usman tetap harus terjaga. Shazia? Pandangannya memang pada gerak semu di luar mobil, tapi film-film dari memori lama terus tayang dalam benaknya. Tersentak sendiri tanpa adanya gerakan seperti orang terkejut meski dari wajah sekalipun, Shazia tersadar bahwa sempat tadi tatapannya dengan Arqam berserobok. Ia menatap sandaran bangku yang digunakan Usman, rasanya ingin bertanya bagaimanalah suami Tiara itu bisa mengenal Arqam. Merasa tidak mungkin pula Tiara ingin mempertemukannya dengan Arqam, tapi dimilikinya kemungkinan manakala sang peretas sengaja membuntuti entah sedang berperan sebagai apa pada Usman atau rekan-rekan laki-laki lainnya. Diam-diam ada ketakutan kecil bilamana para rekan pengajar mengenali Arqam yang selama ini datang menjemput dengan penyamaran sebagai pengemudi ojol.
Perjalanan dipastikan sudah menempuh bilangan jam, Shazia memutuskan akan bersikap biasa-biasa saja seolah-olah tidak mengenal sang peretas, bahkan berharap pemuda yang sedang turut berlibur saat ini bukanlah seorang Arqam yang dikenal, melainkan hanya seseorang yang serupa saja dengan Rudiyanto si peretas yang persis juga bernama Arqam.
Memasuki wilayah perbukitan, dua mobil dengan tujuan yang sama itu sudah melewati wilayah luar Jakarta. Mereka tiba pada bukit-bukit perkemahan. Para penumpang dan pengemudi turun dari mobil membawa barang-barang mereka. Menaiki bukit yang harus hati-hati dipijaki karena tidak rata dan agak licin. Sejuk udara menenangkan bagi mereka yang sudah jenuh dengan panasnya ibu kota.
>>>