SEBAGAIMANA dari setelah ditraktir di kafe rumah sakit dan selamat pula dari Sekolah Animasi Pertiwi oleh Rudiyanto membawa Shazia ke rumah, kembali gadis itu merasa betapa peretasnya benar-benar memulangkannya tanpa ada melukai sedikit pun--bilamana pemuda itu bukan lelaki baik-baik.
Berusaha bersikap wajar begitu memasuki rumah sepupu meski dalam hati sedang disemarakkan ketakjubkan atas sang peretas, menjawab sekadarnya saja ketika sang sepupu bertanya. Seiring langkahnya menaiki tangga menuju kamar, kembali sesuatu yang tidak nyaman dari dirinya tengah menggeliat.
Menjalankan solat isya, beranjak ke atas ranjang. Pandangannya terarah pada langit-langit. Ia tidak yakin bila penyakitnya kali ini karena terlambat makan--maag? Bukan, bukan itu. Namun, sudah diarahkannya badannya berbaring ke kanan, ke kiri, kanan lagi, kiri lagi, sampai telentang, gerak dari alat motorik tubuhnya kian mengganjil.
Jantung kian berdebar dan kulit berkeringat dingin. Keganjilan makin mengusik ketika dirasakannya napas terasa pendek-pendek. Merasa tidak tahan, malam itu diteleponnya ibu dengan suara gemetar. Tidak hanya ibu, ayah turut ikut menjemput dengan mobil ojol menuju IGD. Beruntung saja kekhawatiran berupa kelumpuhan belum terjadi, ia masih bisa berjalan ketika ayah ibu tiba dan menuntunnya pamit dari rumah sepupu menuju rumah sakit.
Sempat dikira banyak pikiran oleh perawat yang menangani, namun ketika Shazia mengaku pernah diopname karena hipokalemia barulah pengambilan darah dilakukan. Berselang menit takut dianggap hanya alami banyak pikiran semata, rupanya benar hasil darah menunjukkan angka di bawah ketentuan standar. Ia pun heran, karena hasil darah seminggu lalu saat kontrol bulanan begitu tinggi.
Pagi selepas solat subuh, ia menerka-nerka mungkin ada psikis yang membuat fisiknya terganggu. Dan memang, sebenarnya sudah lama ia berusaha bersikap wajar terutama pada diri sendiri, untuk tidak merasa bersalah atas pilihannya dengan tidak merelakan Prita mendahuluinya menikah. Sungguh, ketakutan melihat banyak orang berkumpul manakala pernikahan terjadi, membuatnya tidak nyaman meski hanya membayangkan. Pun pada pernikahannya sendiri kelak, tentu ia dan suaminya kelak menjadi sorot perhatian dan lagi-lagi mengingatkannya pada ketakutan masa SD.
Shazia mendecis seraya agak melamun memotret tangannya yang dipasangi jarum infus, dan diunggahnya ke status aplikasi perpesanan. Bekas goresan benda tajam yang dilukainya secara melingkar dengan jarum pentul jilbab di pergelangan tangannya membuatnya tercenung, merasa hal itu juga menjadi salah satu alasan mengapa belakangan merasa tidak nyaman karena dihantui perasaan bersalah telah melukai diri sendiri. Oleh dihantui perasaan bersalah itu, membuatnya tidak fokus pada beberapa hal hingga jahil memanggil sang peretas--selain memang ingin menguji 'kepatuhan sang Jin'. Bertepatan, si nomor tanpa nama masuk ke notifikasi ponselnya di ruang komentar status aplikasi perpesanan yang baru saja diunggah.
"Kamu lagi sendiri gak?"
Shazia mengerutkan kening, mengejap-ngejapkan mata begitu heran terhadap pertanyaan sang peretas. Ia memang sendiri karena ibu sedang di toilet dan ayah beli sarapan, begitulah ia menjawab.
Tak lama, panggilan video dari Rudiyanto datang. Ragu-ragu akan menerima, tapi Shazia penasaran juga.
"Hei!!!" Rudiyanto melambai-lambaikan tangan.
Shazia tidak membalas. Terkejut ketika melihat tangan Rudiyanto yang melambai-lambai, terpasang infus juga. "Dirawat juga?!"
"Iya nih. Hehe..."
"Kok bisa?" Shazia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
"Kepeleset. Gak liat ada lubang hidung eh lubang di jalanan. Ngebut aja. Oleng deh. Hehehe..."
"Dari abis makan brownis semalam?" Shazia berusaha menahan diri untuk tidak membayangkan lelucon Rudiyanto di alam khayalnya.
"Hiiya..."
"Ya ampun, ngapain dah pake nyebur segala! Eh nyebur... NGEBUUUT!!!"
"Tapi kan jadinya kita sehati sejiwa senyawa, eh? Belajar kimia dong? Iya... kan sama-sama diopname..."
Shazia berdecak sebal, masih bisa-bisanya peretasnya bergurau. "Jangan-jangan kamu emang cenayang ya sampai pengen banget samaan kayak aku sampai ikut diopname segala!"
"Ahahaha!!! Gede rasa! Emang saya orang pintar yang bisa menebak masa mendatang? Kalau pun iya, aturan saya lebih hati-hati dan mending liat kondisi kamu yang sekarang lagi diopname!"
Shazia terdiam, tidak tahu apakah benar ia sudah 'gede rasa', namun kemudian tersadar akan satu hal yang hampir dilupakan. "Trus dirawat dimana? Siapa yang jagain?"
"Loh tumben perhatian! Biasanya jutek!"
"Aku mau tutup aja videonya!"
"Iya iya iya! Khalid yang jagain. Kayaknya kita di rumah sakit yang sama. Kalau Tuhan mengizinkan, ntar juga ketemu!"
"Asli penguntit!"
"Nggak!!! Siapa sih yang mau sakit? Ini aja terpaksa proyekku ditunda dulu, Jeng!"